Oleh : Abdul Hakim MS
Jurnal Nasional, Selasa, 8 Nov 2011
Melihat Indonesia dari kaca mata media massa dalam beberapa bulan terakhir, ibarat disuguhi sebuah kapal yang seolah mau pecah. Mayoritas headline menyembulkan pesimistis pembangunan bangsa dan negara ke depan. Bahkan beberapa kalangan telah santer menyuarakan jikalau Indonesia saat ini hampir menjadi negara gagal. Betulkah demikian?
Mengutip teori “Media Sebagai Konstruksi Realitas Sosial”, apa yang disuguhkan oleh media massa, terkadang tak mewakili kenyataan yang sebenarnya. McNair Brian (1995) mengatakan, “Media bukanlah ranah yang netral dimana berbagai kepentingan dan pemaknaan dari berbagai kelompok akan mendapatkan perlakuan yang sama dan seimbang. Media justru bisa menjadi subyek yang mengkonstruksi realitas berdasarkan penafsiran dan definisinya sendiri untuk disebarkan pada khalayak. Media berperan dalam mendefinisikan realitas”.
Teori McNair Brian tersebut, sejurus dengan temuan survei nasional DCSC Indonesia tentang kondisi/situasi nasional Indonesia saat ini dan ke depan. Ternyata, apa yang disuguhkan oleh media bahwa Indonesia adalah negara gagal, tak mencermin dari suara mayoritas publik Indonesia.
Dalam temuan survei nasional yang dilakukan terhadap 1.200 responden di 33 provinsi di Indonesia pada rentang waktu 12 – 20 Oktober 2011, mayoritas publik, yakni 52.8% memandang bahwa kondisi/situasi Indonesia saat ini secara umum masih baik. Itu artinya, suara publik ini bertentangan dengan analisis bahwa Indonesia menjadi negara gagal.
Temuan lain yang menarik juga adalah, optimisme publik terhadap kondisi ekonomi nasional setahun ke depan cukup positif. Responden yang menjawab bahwa situasi nasional dalam setahun kedepan akan lebih baik, lebih banyak dibandingkan dengan yang menjawab lebih buruk, yakni 29.5% : 8.6%. Temuan data ini menunjukkan bahwa masyoritas masyarakat Indonesia memandang bahwa analisis Indonesia menjadi negara gagal sebetulnya kurang tepat.
Akselerasi Kinerja
Meskipun wacana Indonesia sebagai negara gagal yang digaungkan sebagian media massa bukanlah cerminan mayoritas suara publik, namun wacana tersebut tetap harus menjadi alarm serius bagi pemerintahan SBY-Boediono dalam sisa masa jabatannya. Hal itu merujuk pada data bahwa yang mengatakan secara umum kondisi/situasi Indonesia secara umum buruk, juga tidak sedikit, yakni sebesar 40.1%. Artinya, meski bukan menjadi negara gagal, banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Ditambah lagi, tingkat kepuasan terhadap Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono juga belum begitu menggembirakan, berada di bawah angka psikologis 50%.
Hemat saya, setidaknya ada tiga perkara yang harus cepat diselesaikan oleh presiden SBY guna kembali mengatrol tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahannya. Pertama, Presiden SBY harus kembali giat mendorong penindakan keras terhadap para koruptor. Hal ini merujuk pada persepsi publik dalam temuan survei DCSC Indonesia yang menjadikan korupsi sebagai “musuh utama” negara. Korupsi menjadi variabel utama ketidakpuasan publik terhadap pemerintah. Oleh karena itu, kasus-kasus korupsi yang saat ini masih menggantung, sebaiknya dengan cepat dituntun oleh SBY guna percepatan penyelesainnya agar tak terus menguap di udara.
Kedua, Presiden SBY harus kembali mendorong percepatan program-program pro rakyat yang hasilnya dapat langsung dirasakan masyarakat. Gap ekonomi saat ini yang terjadi di Indonesia sangat timpang. Berdasarkan laporan AGB pada 2010, penduduk kaya di Indonesia meningkat pesat dalam satu dekade terakhir seiring pertumbuhan ekonomi yang baik. Namun sejurus dengan itu, angka kemiskinan juga turut membengkak. Jurang pemisah ketimpangan ekonomi antara “si miskin” dan “si kaya” harus segera diminimalisasi dengan program yang langsung menyasar ke kalangan bawah. Karena jika tidak, sangat mungkin tingkat kepuasan publik terhadap pemerintah akan kembali melorot.
Ketiga, Presiden SBY harus sesegera mungkin mendorong akselerasi kinerja KIB II pasca reshuffle untuk tetap memelihara asa publik. Harapan masyarakat adalah kunci menstabilkan arus dukungan terhadap pemerintahan yang berjalan. Jika kita menengok revolusi yang terjadi di Mesir dan beberapa negara di Timur Tengah, kata kuncinya karena sebagian besar masyarakat telah pupus harapannya (frustasi sosial) dalam berbagai sendi kehidupan. Dalam konteks Indonesia, frustasi sosial telah berhasil melengserkan rezim Orde Baru.
Pemakzulan
Buntut dari analisis negara gagal seperti di kutip di atas, telah banyak berhembus bahwa saat ini ada wacana timbulnya gerakan “delegitimasi” terhadap pemerintahan SBY-Boediono. Bahkan analisis beberapa kalangan, 2012 adalah masa akhir pemerintahan SBY.
Memang, hasil survei DCSC Indonesia menunjukkan, saat ini 59.8% masyarakat tak mendukung adanya gerakan pemakzulan terhadap pemerintahan SBY-Boediono. Ini merupakan suara mayoritas publik. Akan tetapi, jika tak ada geliat perbaikan serius dari pemerintah dan angka kepuasan terhadap pemerintah terus menurun, bisa dijadikan legitimasi kelompok-kelompok tertentu untuk memunculkan social movement guna melengserkan pemerintahan yang ada.
Satu-satunya jalan untuk menanggulangi social movement, SBY harus berhasil mengembalikan harapan masyarakat seperti pada situasi beberapa bulan ketika ia terpilih dipilpres 2009 yang lalu. Pemunculan harapan masyarakat, dapat mencegah dukungan terhadap gerakan delegitimasi yang telah santer diwacanakan. Reshuffle yang dilakukan SBY beberapa waktu lalu terhadap para menterinya yang terpersepsikan negatif, adalah langkah awal.
Dengan mengganti para menterinya yang tak perform, setidaknya akan menujukkan kepada publik bahwa situasi sosial, ekonomi, dan politik akan membaik. Pemerintah terlihat akan kembali bekerja keras untuk mengelola negara ini. Dengan cara itu, wacana pemberhentian presiden di tengah masa tugasnya yang belum selesai (pemakzulan) bisa diredam sehingga tidak menjadi implikasi buruk dalam pembangunan negara kedepan. Karena sebagaimana kita tahu, pemakzulan selalu berimplikasi kerusuhan sosial seperti pada kasusu 98 dan negara-negara di Timur Tengah.
No comments:
Post a Comment