Friday, January 06, 2012

Antara Gaya dan Kinerja DPR

Share on :

Oleh : Abdul Hakim MS

Detik.com, Selasa, 29/11/2011


Untuk kesekian kalinya, wajah DPR kembali tertampar. Adalah Busyro Muqoddas, Ketua KPK saat ini yang menyindir keras gaya perilaku para anggota dewan. Dalam pidato kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2011 di Taman Ismail Marzuki, Busyro secara langsung menyindir pejabat negara dan anggota DPR yang selalu bergaya perlente. Ia menilai, lembaga-lembaga negara banyak dihuni oleh para “pemberhala nafsu” dan “syahwat politik kekuasaan”. Naasnya, moralitasnya mendekati titik nol. Akibatnya, budaya korupsi di Indonesia menjadi kian mengakar.

Kontan, pernyataan Busyro ini sedikit memanaskan situasi politik nasional. Para anggota dewan melakukan “reaksi perlawanan” yang cukup kuat untuk membela diri. Bahkan salah satu petinggi Partai Golkar mengatakan, urusan gaya hidup anggota DPR bukanlah domain KPK untuk menelaahnya, melainkan urusan media massa dan pengamat untuk mengkritisinya.

Memang jika kita cermati, perilaku yang ditunjukkan anggota dewan sedikit mencederai rasa “etika publik”. Ditengah himpitan ekonomi yang mencengkeram masyarakat, anggota dewan malah mempertontonkan kemewahan. Area parkir gedung DPR di Senayan, bak show room mobil-mobil mewah. Dari deretan mobil-mobil tersebut, ditengarai ada mobil yang harganya hingga mencapai 7 miliar. Pertanyaannya, kenapa anggota dewan kita suka mempertontonkan kemewahan ditengah kesulitan ekonomi masyarakat?

Gaya dan Kinerja

Ada dua perkara yang mendorong kenapa anggota DPR berperilaku mewah. Pertama, akumulasi pendapatan ekonomi yang diterima cukup besar. Kedua, besarnya akumulasi pendapatan ekonomi ini tak disertai dengan sikap kenegarawanan yang baik.

Seperti kita tahu, pendapatan anggota DPR setiap bulannya bisa mencapai 51 juta rupiah. Angka sebesar itu diterima anggota DPR yang tak menjabat sebagai alat kelengkapan atau anggota DPR biasa. Pendapatan itu berasal dari gaji pokok dan tunjangan. Artinya, dalam setahun anggota DPR bisa mengumpulkan pendapatan sebanyak 600 juta rupiah. Jika dikalikan 5 tahun masa jabatan yang diemban, anggota DPR bisa meraup uang sebesar 3 miliar rupiah. Belum lagi tunjangan rapat, studi banding dan sebagaianya. Tentu sebuah nilai yang cukup besar.

Rincian di atas adalah ilustrasi pendapatan gaji anggota dewan yang berjalan lurus, yakni murni hidup dari pendapatan gaji dan tunjangan saja. Padahal sudah menjadi rahasia umum, jikalau proses pembuatan undang-undang di DPR penuh sesak dengan praktik “dagang sapi”. Tak sedikit oknum anggota DPR yang harus berurusan dengan meja hijau akibat praktik korupsi. Kasus cek pelawat Miranda Gultom yang menyeret banyak politisi DPR adalah salah satu contohnya.

Sayangnya, besarnya pendatan ekonomi yang diterima anggota DPR ini tak disertai sikap kenegarawanan yang baik. Anggota DPR yang seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat dan menyatukan diri dengan penderitaan masyarakat, malah hidup mewah dan mempertontonkannya ke publik. Seandainya mereka bukan pejabat publik, rasanya tak menjadi persoalan. Namun ketika pendapatan ekonomi yang besar itu didapat dari uang rakyat, disinilah proses pencideraan itu terjadi.

Lebih parah, ditengah hidup gaya parlente dari uang rakyat, anggota DPR belum juga menunjukkan kinerja yang baik. Sepanjang tahun 2010 misalnya, DPR hanya dapat menyelesaikan 16 undang-undang dari 70 undang-undang yang ditargetkan. Masih tersisa sebanyak 54 RUU yang statusnya tidak tuntas dibahas atau malah naskah RUU-nya belum disiapkan. Dari sisi keaktifan kehadiran, anggota DPR juga menyuguhkan semangat yang sangat minim. Dalam beberapa rapat besar DPR, bangku kosong kerap menghiasai media massa.

Itu sebabnya, publik menilai kinerja anggota legislatif menjadi buruk. Merujuk data survei nasional DCSC Indonesia pada rentang waktu 12 – 20 Oktober 2011, mayoritas publik , 52.1%, menilai bahwa anggota legislatif tidak peduli untuk memperjuangkan kepentingan konstituennya. Begitu pula dengan tingkat kemampuan melakukan tugas kedewanan, sebanyak 45.3% publik menilai anggota dewan tidak memiliki kemampuan. Merujuk kondisi tersebut, semestinya anggota DPR lebih mawas diri. Sebagai pejabat publik dan digaji dari uang rakyat, mereka harus sadar bahwa mereka tak bisa lepas dari sorotan.

Pemburu Rente

Apa yang dilakukan oleh anggota DPR seperti terilustrasi di atas, disebabkan besarnya porsi “tujuan memburu rente” dari pada mementingkan “tujuan ideal lembaga DPR”. Tujuan ideal lembaga DPR adalah untuk mengagregasi serta mengartikulasikan kepentingan rakyat. Dan oleh publik, tugas ini dipandang tak berhasil dilakukan oleh anggota dewan merujuk data survei DCSC Indonesia.

Selain tujuan ideal tersebut, setiap anggota DPR juga memiliki tujuan “memburu rente”. Mereka memperebutkan posisi kursi di DPR karena Pertama, ingin melakukan akumulasi ekonomi sebanyak-banyaknya. Yaitu mengumpulkan kekayaan seperti telah dikutip di atas. Tujuan Kedua, adalah memanfaatkan segala sumber daya yang ada untuk tujuan kekuasaan politik, yakni tetap dapat mempertahankan kedudukannya dalam pemilu selanjutnya. Tujuan rente inilah yang melatarbelakangi kenapa sebagian besar anggota dewan bersikap kurang peka terhadap kepentingan masyarakat dan suburnya budaya korupsi.

Dalam konsep akademis, “tujuan memburu rente” tersebut dinamai dengan istilah power-seeking politician. Argumentasi dasar power-seeking politician ini adalah para politisi merupakan makhluk rasional yang tidak steril dari perhitungan untung-rugi dalam setiap mengambil keputusan. Kepentingan utama dari politisi adalah memaksimalkan, dan bila mungkin, mempertahankan kekuasaan yang dimiliki. Untuk tujuan ini, maka para politisi akan dimotivasi oleh keinginan menggunakan sumber daya (resources) apa saja yang dimiliki guna memberikan ganjaran kepada siapa saja yang mendukung mereka, dan memberikan hukuman kepada siapa saja yang mencoba mengganggu (Grindle, 1989).

Melihat kondisi seperti ini, selayaknya anggota DPR tak perlu terlalu reaktif dalam menyikapi kritik ketua KPK. Ada baiknya anggota DPR malah harus menjadikannya sebagai kritik membangun untuk lebih mawas diri. Karena hingga detik ini, sangat minim persepsi terhormat dari masyarakat dari lembaga yang terhormat DPR.

No comments: