Friday, January 06, 2012

Hatta dan SBY’s Factor

Share on :

Oleh : Abdul Hakim MS

detik.com, Kamis, 15/12/2011


Pada 24 November 2011, kisah cinta Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) dan Siti Rubi Aliya Rajasa berakhir di jenjang pernikahan. Melalui acara akad nikah di Istana Cipanas, putra bungsu Presiden SBY dan putri Menko Perekonomian Hatta Rajasa (HR) tersebut telah resmi menjadi sepasang suami istri. Di tengah kebahagiaan Ibas-Aliya, perkawinan antara putra-putri dua pejabat ini ternyata menimbulkan berbagai polemik dan pro-kontra. Ada yang mendesak KPK mengaudit dana pernikahan Ibas-Aliya. Ada pula yang mengatakan pernikahan keduanya tergolong sederhana sebagai anak pejabat tertinggi di negeri ini.

Namun sebenarnya, yang paling menarik untuk dicermati adalah bagaimana pengaruh SBY terhadap karir politik besannya itu pasca pernikahan kedua anak mereka? Apakah SBY bisa menjadi poin positif atau malah negatif bagi pencapresan HR di pemilu 2014?

Seperti kita tahu, menjelang Rakernas PAN pada 10-11 Desember 2011 di JCC, santer terdengar kabar bahwa Ketum PAN itu akan didaulat sebagai capres pada pilpres 2014 mendatang. Sekretaris Jendral PAN, Taufik Kurniawan, mengatakan, saat ini desakan kuat telah lahir dari DPD dan DPW seluruh Indonesia untuk sesegera mungkin mendeklarasikan HR sebagai capres resmi PAN. Hal ini dimaksudkan agar kerja-kerja politik yang dilakukan oleh DPD dan DPW semakin jelas dan terarah dalam menghadapi pemilu 2014.

Faktor SBY

Sepertinya, PAN memang tak punya pilihan untuk mengusung capres selain HR. Secara personal, HR termasuk tokoh papan atas Indonesia yang memiliki modal komunikasi politik yang cukup baik. Sejak menjabat sebagai menteri sekretaris negara pada Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid I, HR juga telah menjadi tokoh yang semakin akrab di telinga publik. Bahkan kabarnya, Ketua Majelis Pertimbangan PAN, Amien Rais, pun sudah memberikan lampu hijau terhadap rencana pencalonan Menkoperekonomian itu.

Pasca pernikahan Ibas-Aliya, HR semakin memiliki modal yang cukup baik untuk menjadi capres karena hadirnya sosok SBY. Merujuk hasil survei DCSC Indonesia pada Oktober 2011, dalam pertanyaan terbuka, tingkat elektabilitas SBY ternyata masih di atas Megawati, Prabowo, dan Ical. Padahal pada pemilu 2014 medatang, SBY sudah tak bisa lagi mencalonkan diri.

Dengan popularitas dan elektabilitas yang masih baik pada diri SBY, tentu menjadi modal positif bagi HR untuk mengerek popularitas. Seperti sudah banyak dilansir lembaga survei, tingkat popularitas Menkoperekonomian itu belum begitu menggigit di mata publik. Dengan acara pernikahan kedua anak mereka yang disiarkan langsung oleh beberapa stasiun televisi, plus liputan dari berbagai media massa, hemat saya, tingkat popularitas HR kok sepertinya bisa terdongkrak pada posisi yang lebih ideal sebagai capres.

Selain itu, saat ini ada semacam kebutuhan SBY untuk mencapreskan HR. Partai Demokrat selaku partai terbesar di pentas politik nasional, belum juga memiliki figur dengan popularitas kuat sekaliber dirinya untuk diusung menjadi capres. Ketua Umum Anas Urbaningrum dan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng dapat dipastikan akan mendapatkan resistensi tinggi dari publik jika tetap memaksakan maju sebagai capres. Mengingat, kedua politisi muda Partai Demokrat itu diduga kuat terlibat kasus suap proyek pembangunan wisma atlet SEA Games yang melilit mantan bendahara umum Partai Demokrat, M Nazaruddin.

Agaknya, SBY sadar betul bahwa ketiadaan figur kuat di jajaran elite Partai Demokrat akan memunculkan polemik internal dalam menentukan capres yang akan diusung. Kondisi itu tentu kurang ideal untuk memilih capres dari kalangan dalam. Oleh karena itu, pilihan untuk mengusung tokoh dari luar partai sebagai capres tahun 2014 menjadi terasa amat penting. Demi menjaga stabilitas Partai Demokrat, besar kemungkinan HR akan digadang-gadang oleh Presiden SBY sebagai calon presiden tahun 2014. Kenapa HR?

Pertimbangan SBY untuk memilih HR sebagai capres adalah adanya kebutuhan untuk mempersiapkan penerus trah Yudhoyono demi menjaga eksistensi di kancah politik nasional. Dengan memilih HR yang notabene merupakan besan, maka kerisauan Presiden SBY terhadap kelanjutan trah Yudhoyono di kancah politik nasional akan terjawab tuntas.

Faktor PAN

Meski demikian, hadirnya SBY dalam lingkungan HR bukan tanpa kelemahan. Naik-turunnya popularitas SBY, tentu akan memiliki imbas terhadap konsistensi politik HR kedepan. Dengan predikat sebagai besan, kelekatan itu akan sulit di hapus dari memori publik. Jika popularitas SBY bisa dijaga dengan baik hingga masa akhir jabatannya, mungkin hal itu akan berimbas positif buat HR. Namun sebaliknya, jika popularitas SBY turun, maka HR pun pasti akan terkena efek psikologis. Apalagi saat ini DPR tengah kencang untuk kembali “mengulik” kasus Bank Century. Saat ini, DPR telah menyiapkan ‘jurus’ hak menyatakan pendapat untuk kasus bailout 6.7 triliun itu. Sasaran tembaknya jelas, mereduksi “kemonceran” prestasi Presiden SBY.

Kelemahan mendasar lainnya yang bisa menjadi “rem” dukungan SBY terhadap HR adalah masih minimnya perolehan suara partai matahari. SBY tentu akan menghitung-hitung dukungan mencapreskan HR jikalau suara PAN masih dikisaran 6 – 7% saja, sementara suara Partai Demokrat ada di atas 20%. Tentu seandainya SBY mencapreskan HR ditengah ketimpangan suara kedua partai itu, akan memunculkan polemik kuat di internal Partai demokrat. Dan hemat saya, SBY tak akan memilih opsi itu.

Merujuk uraian di atas, hemat saya, titik lemah yang paling utama dari upaya pencapresan HR adalah faktor PAN. Oleh karena itu, jikalau PAN memang betul-betul ingin mengusung capresnya sendiri, ada baiknya kegiatan rakernas nanti difokuskan untuk mencari strategi pemenangan yang baik dari pada membahas isu-isu elitis yang telah membuat jengah masyarakat. Karena jika suara PAN masih satu digit pada pemilu 2014, sepertinya langkah HR untuk menjadi capres akan menghadapi jurang yang cukup terjal.

No comments: