Oleh : Abdul Hakim MS
Investor Daily, Jumat, 24 Juni 2011
Dalam membangun sebuah negara, ada perdebatan klasik dalam menelaah mana yang harus diprioritaskan terlebih dahulu. Apakah pembangunan politik atau ekonomi? Perdebatan ini bak mempertanyakan mana yang lebih dulu ada, telur atau ayam.
Meski demikian, saat konferensi internasional World Ekonomic Forum on Asia, di Jakarta beberapa waktu yang lalu, penasehat Sekjen PBB untuk program tujuan pembangunan Milenium, Jeffrey D sachs, lebih memilih perspektif politik yang mesti dijadikan sebagai panglima. Saat berbicara mengenai “Inclusive Asia: Reinvigorating the Millineum Develepment Goals”, ia menilai maju tidaknya ekonomi sebuah negara tergantung iklim politik. Jika iklim politiknya kondusif, maka pembangunan ekonomi berjalan baik. Oleh karena itu, yang paling pertama untuk dilakukan sebuah negara adalah menciptakan iklim politik yang kondusif.
Apa yang disampaikan oleh jeffrey, sebetulnya memperkuat analisis pakar studi Ekonomi-politik, Grindle (1989). Ia menilai, salah satu faktor penyebab dari kegagalan para analis dalam memahami proses pembangunan di negara-negara berkembang, karena mereka cenderung memberi arti kecil terhadap peran dimensi politik. Para ekonom, selalu merekomendasikan perlu adanya structur adjustment, liberalisasi, privatisasi, dan desentralisasi, sebagai elemen penting strategi pembangunan. Namun mereka kemudian kecewa karena terbukti banyak negara sedang berkembang ternyata menolak, atau melakukan dengan setengah ahti, kendati di bawah tekanan institusi internasional, seperti IMF misalnya. Fenomena ini kemudian menjadi pembelajaran penting bagi para analis untuk tidak menganggap kecil aspek politik. Bagaimana dengan konteks Indonesia?
Meski banyak pihak memandang Indonesia cenderung mendekati negara gagal, namun saat ini ekonomi Indonesia sebetulnya dalam trens positif. Pada 2010, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6.1%. Tak mengherankan bila kemudian pemerintah optimis pertumbuhan ekonomi dalam 5–10 tahun mendatang bisa menembus angka tujuh sampai delapan persen. Selain itu, target Produk Domestik Bruto juga di perkirakan dapat mencapai 1 triliun dolar AS. Pertanyaannya, bisakah itu terwujud?
Bising Politik
Tantangan terbesar dan terberat dalam merealiasikan target pemerintah dalam bidang ekonomi itu, adalah adanya kecenderungan tidak kondusifnya situasi politik nasional saat ini. Makin dekatnya pemilu 2014, menyembulkan banyak ‘pertikaian’ antar elit parpol guna meraih kekuasaan. Tentu jika hal itu terus berlanjut tanpa kontrol, akan berimplikasi pada terjadinya “bising politik”. Dan kebisingan politik akan berimplikasi terhadap pembangunan ekonomi.
“Bising politik” di tanah air telah muncul sejak akhir 2009 lalu. Kasus skandal Bank Century menjadi konsumsi politik yang cukup sengit di DPR. Ending polemik saat itu adalah opsi menyalahkan kebijakan pemerintah. Meski melalui perdebatan dramatis yang cukup panjang bak sinetron, namun kasus Bank Century akhirnya melempen di tengah jalan. Kasus ini hanya berhasil ”mengusir” Menteri Keungan Sri Mulyani dari tanah air, tanpa berhasil memprosesnya secara hukum.
Situasi politik nasional yang sudah mulai kondusif, tiba-tiba dibisingkan kembali oleh deklarasi tokoh lintas agama terkait ”kebohongan rezim Presiden SBY”. Tokoh-tokoh agama ini mengidentifikasi setidaknya ada 18 kebohongan yang dilakukan pemerintahan SBY. Tak berselang lama, perkara Gayus Tambunan muncul kepermukaan. Gayus, yang beberapa saat setelah divonis 7 tahun penjara, “bernyanyi” bahwa yang merekayasa kasusnya adalah tiga anggota Satgas Mafia Hukum. Pernyataan Gayus ini pun mendapat sambutan langkah politik kalangan DPR dengan pengajuan hak angket, meski kemudian tak sempat memanas.
Dan yang sangat menggaggu, tentulah kebisingan politik yang berhulu dari the rulling party, Partai Demokrat. Bendahara Umum partai ini yang akhirnya diberhentikan, M. Nazaruddin, tersangkut kasus penyuapan terkait penyediaan sarana Sea Games di Palembang. Tak mau diproses secara hukum, ia kemudian menyingkir ke Singapura dan mangkir dari pemeriksaan KPK. Saat ini, mangkirnya Nazaruddin menjadi polemik hebat di media massa dan menjadi laporan berseri. Yang treranyar, adalah kebisingan politik terkait hukuman mati dengan cara dipancung yang meimpa Ruyati. Kasus ini telah menjadi konsumsi politik oleh para politisi. Dan saat ini, kebisingannya telah mengalahkan kebisingan kasus M. Nazaruddin.
Naasnya, deretan daftar “bising politik” yang telah disebutkan di atas, dalam waktu-waktu mendatang sepertinya belum akan berhenti. Menjelang helatan pemilu 2014, sepertinya kita harus rela menyaksikan manuver, trik, dan intrik para politisi untuk meraup suara pemilih. Kita semua akan dijejali dan disuguhi tontonan-tontonan ‘peperangan strategi’ tanpa henti dari para pemburu kuasa. Entah bising politik apalagi yang akan muncul.
Kita memang tak bisa menyalahkan adanya “perang strategi” yang dilakukan oleh para politisi. Hal ini muncul sebagai implikasi pilihan kita menggunakan model pemerintahan demokrasi langsung. Mau tak mau, jika ingin mendapatkan suara, partai politik harus berdagang. Namun setidaknya kita bisa berharap dan menghimbau, konsep dagang yang akan diusung, bukan strategi penggerogotan lawan yang bisa menuai “bising politik” yang lebih besar. Partai politik harus elegan. Dalam memasarkan partainya, parpol diharapkan lebih memilih jalan melalui penawaran program konkrit kepada masyarakat, bukan “menghabisi lawan” dengan cara yang tidak sehat.
Merujuk pandangan jeffrey dan Grindle, politik adalah panglima dalam pembangunan. Jika kebisingan politik ini terus berlanjut, harga yang harus kita bayar cukup jelas. Investor menjadi tak nyaman berusaha di negeri ini sehingga laju perekonomian menjadi terhambat. Kondisi ini dapat mengerem tren positif ekonomi yang sudah berjalan. Kita semua berharap, para politisi tak belaku kerdil dalam upaya memburu kuasa agar situasi politik nasional menjadi kondusif. Sehingga target pertumbuhan ekonomi yang telah dicanangkan oleh pemerintah dapat terealisasi yang berujung pada kesejahteraan masyarakat. Kita juga berharap, pemerintah tetap fokus dan tidak larut dan terlarut dalam kebisingan ini. Jangan sampai pemerintah kemudian lalai akibat banyaknya kebisingan politik yang terus menghujani tanpa henti.
No comments:
Post a Comment