Friday, January 06, 2012

SMI, SRI dan Peluang 2014

Share on :

Oleh : Abdul Hakim MS


Langkah persiapan Sri Mulyani Indrawati (SMI) mengikuti kontestasi pemilu 2014 sepertinya serius. Setelah beberapa bulan yang lalu sempat melakukan tes pasar melalui peluncuran situs pemikirannya di www.srimulyani.net dan membentuk gerakan Ormas Solidaritas Masyarakat Indonesia (SMI) untuk Keadilan, kini para pendukungnya telah pula membuat sebuah perahu politik untuk dijadikan kendaraan oleh mantan menteri keuangan itu, Partai Solidaritas Rakyat Independen (SRI).

Tokoh-tokoh yang bergabung dalam partai ini juga bukan nama asing dalam kancah politik nasional. Ada nama Todung Mulya Lubis, Arbi Sanit, Rocky Gerung. Diluar itu, masih ada nama seperti Wimar Witoelar, dan Rosiana Silalahi.

Meski demikian, langkah SMI menuju pemilu 2014 dipandang banyak kalangan sebagai ambisi yang cukup berat. Berat, karena perempuan kelahiran Bandar Lampung ini belum punya cerita bagus yang ada dibenak masyarakat. Ketenarannya hanya sebatas “skandal Bank Century’. Tak heran jika kemudian seorang Indonesianis asal Amerika Serikat sekelas Prof Jeffrey Winters, menduga peluang SMI mendekati nol. “I think indonesian wartawan need to learn how to tell the difference between an academic lecture and a political endorsement. I didnt say a single word to endorse SMI (Sri Mulyani Indrawati). in fact I told her tim, I thought her chance was almost zero” analisis winter. Apa yang membuat penilaian peluang SMI cukup kecil memenangi pertarungan di pemilu 2014? Betulkah demikian?

Perahu Politk

Selain kasus skandal Bank Century, persoalan besar yang menghadang laju SMI pada pemilu 2014 setidaknya ada beberapa perkara. Pertama, SMI belum memiliki kendaraan yang cukup mumpuni sebagai pengusung calon presiden. Memang, Partai SRI telah dibentuk. Pertanyaannya, mampukah partai ini bersaing dan lolos Parliamentary Threshold (PT) yang kemungkinan besar ada diangka 5%? Hal ini berbeda dengan beberapa calon lain yang telah muncul sebelumnya, seperti Ical dengan Golkarnya, Hatta Rajasa dengan PAN, Prabowo Subianto dengan Gerindra, Wiranto dengan Hanura, atau Surya Paloh dengan Nasdem.

Beberapa waktu lalu, salah satu petinggi Partai Demokrat, Ahmad Mubarok, memang telah menggaungkan nama untuk capres 2014. Dan salah satunya adalah SMI. Akan tetapi, dengan label neoliberalis yang menempel kuat di tubuh SMI, maukah PD mempertaruhkan reputasinya? Bukankah itu akan banyak menyimpan mudhorot bagi potensi suara PD? Seperti kita tahu, neoliberalisme adalah “musuh” kuat di negeri ini. Bahkan SBY sendiri dalam berbagai pidatonya, menentang aliran yang kerap dialamatkan terhadap pemerintahannya itu.

Kedua, fragmentasi calon dari asal kelahiran SMI juga menjadi pengganjal serius. Seperti kita tahu, Ical dan Hatta Rajasa adalah calon kandidat lain dari pulau Sumatera. Itu artinya, peluang meraup suara dikampung halaman sendiri menjadi semakin sulit sebelum ‘bertarung’ di kampung halaman kandidat lain.

Ketiga, terjadinya repetisi pertarungan ‘lawan lama’, yakni Ical vs SMI. Telah menjadi rahasia umum, bahwa SMI yang harus ”tersingkir” dari urusan dalam negeri akibat kasus skandal Bank Century, adalah implikasi dari pergelutannya melawan Ical. Ical dengan kekuatan Partai Golkar di DPR, mampu “membuang” SMI dari kancah perpolitikan nasional. Dan seperti diketahui, ia kemudian ‘diselamatkan’ oleh IMF.

Kembalinya SMI ke Indonesia dan langsung mencalonkan diri sebagai presiden, tentu pertama kali yang harus dihadapi adalah Ical. Karena kemungkinan jika SMI terpilih, bisa jadi ia akan melakukan “serangan balik” kepada Ical. Tentu Ical tak begitu saja membiarkannya. Ical, yang saat ini juga sudah massif mempersiapkan diri untuk pemilu 2014, tentu punya kepentingan untuk membendung laju SMI. Dan pergulatan ini akan menjadi kendala serius yang harus dihadapi SMI.

Logistik

Saat ini, kekuatan utama yang dimiliki SMI yang bisa diandalkan adalah (sepertinya) banyaknya sokongan dana yang akan mendukung. Posisinya sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia plus reputasi yang cukup baik di luar negeri, akan memudahkan penggalangan dana guna kepentingan kampanye. Kelebihan lain, ia seorang intelektual yang mumpuni. Dan selama menjadi menteri keuangan, reputasinya memperbaiki birokrasi dibawahnya cukup baik.

Namun demikian, hanya mengandalkan tiga kekuatan di atas guna menangkis ancaman yang mengarah, sepertinya cukup berat. SMI bisa saja menggelontor pemilih dengan iklan massif. Namun sekali lagi, ia harus berhadapan dengan Prabowo Subianto, misalnya, yang telah membawa jargon politik ‘anti neoliberalisme”. Dan sekali lagi, “cap neolib” yang lekat menempel dalam pribadi SMI adalah serangan empuk bagi lawan-lawan politiknya. Selain itu, persoalan utama lain SMI adalah masih minimnya tingkat popularitas dan elektabilitasnya. Saat ini, ia masih kalah jauh dibandingkan nama-nama lain yang telah disebutkan di atas.

Merujuk kondisi di atas, dengan mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan yang ada pada diri SMI, sepertinya peluangnya cukup minim memenangi kontestasi menuju RI-1. Kita menjadi mafhum jika kemudian jeffry Winter mengatakan peluang SMI almost zero. Apalagi jargon yang sekarang dipakai, I’ll be back, bisa dimaknai sebagai upaya kembali untuk “balas dendam” atas tersingkirnya ia dari kancah perpolitikan nasional. Jika kondisinya demikian, tentu para pendukung SMI yang sekarang sedang bergairah, akan menghadapi PR serius guna menyukseskan calonnya. Apakah SMI mampu bersaing? Kita tunggu langkah lanjutan dari janji kembalinya SMI ke tanah air.

No comments: