Tuesday, November 27, 2012

BDF dan Masa Depan Demokrasi Kita

Share on :

Oleh : Abdul Hakim MS


Pada 8 – 9 November 2012, Indonesia kembali menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bali Democracy Forum (BDF) di Nusa Dua, Bali. KTT ini merupakan yang kelima sejak pertama di helat pada 2008 silam atas inisiasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menariknya, jika pada awalnya KTT ini hanya difokuskan untuk membincangkan masalah pembangunan demokrasi di kawasan Asia, kini BDF sudah diperlebar cakupannya untuk membicarakan demokrasi di tingkat global. Hal itu tercermin dari negara-negara yang diundang, yakni negara-negara dari Asia, Timur Tengah, dan Pasifik.

Namun sejatinya, seperti dikemukakan oleh Presiden SBY tatkala membuka konferensi ini pertama kali pada tahun 2008 silam, BDF diselenggarakan bukan dimaksudkan untuk menghakimi penerapan demokrasi di negara-negara dunia. Forum ini hanya ditujukan untuk sharing discussion dalam rangka berbagi pengalaman terkait penerapan demokrasi dinegara-negara peserta konferensi.

Seperti diketahui, hingga saat ini, belum penafsiran yang ajeg terkait penerapan sistem demokrasi yang paling ideal. Demokrasi selalu diterapkan masing-masing negara dengan merujuk kesesuaian sejarah dan budayanya. Seperti halnya Indonesia, demokrasi telah dicoba berulang-ulang hingga menemukan bentuknya seperti yang sekarang. Indonesia pernah menjajal Demokrasi Parlementer pada masa 1945 – 1959. Kemudian mencicipi Demokrasi Terpimpin pada fase 1959 – 1965 yang kemudian berganti selera menjadi Demokrasi Pancasila ala Orde Baru pada masa 1965-1998. Sejak runtuhnya Orde Baru, Demokrasi Pancasila ala Era Reformasi pun diberlakukan sejak 1998 hingga sekarang.

Merujuk kondisi di atas, menjadi cukup relevan apabila Indonesia kemudian memprakarsai sebuah forum yang khusus mendialogkan demokrasi. Disamping pengalaman panjang menggeluti demokrasi, Indonesia juga merupakan negara terbesar ketiga didunia yang menerapkan demokrasi. Pertanyaanya, kenapa harus sistem politik demokrasi?

Pemerataan Kesejahteraan

Sejak kelahirannya, demokrasi memang selalu memunculkan perdebatan serius, baik dalam tataran teoritis maupun praktis. Dari sisi teori, telah mengemuka ratusan atau bahkan ribuan pandangan tentang model demokrasi ideal. Sementara disudut praktis, puluhan negara rela mengalami jatuh-bangun dalam upaya trial and error penerapannya, termasuk Indonesia.

Kerelaan negara-negara dunia untuk trial and error dalam penerapan demokrasi ini, hemat saya, karena didasari oleh nilai yang terkandung didalamnya. Demokrasi diyakini bisa memberikan pemerataan kesejahteraan bagi semua warga negara, baik dibidang politik maupun ekonomi.

Hal itu seperti dikemukakan seorang warga negara Inggris berketurunan India yang meraih nobel bidang ekonomi, Amartya Sen (2001). Melalui penelitiannya, ia menujukkan bahwa pengawasan dalam sistem demokrasi atas kekuasaan politik dan ekonomi bisa mengantarkan pencapaian kemakmuran sebuah negara. Dan hanya dalam pengawasan sistem demokrasi pula, pemerataan peluang bagi semua warga negara untuk mendapatkan bagiannya dari distribusi kemakmuran yang dicapai negara bisa tercipta. Tanpa pengawasan sistem demokrasi, peluang distribusi kemakmuran secara adil dan merata ia pandang sangatlah kecil.

Itu sebabnya, sistem demokrasi menjadi sangat familiar. Dari sekian banyak sistem politik yang pernah hadir dan dijalankan dalam sejarah bangsa-bangsa di bumi, demokrasi dianggap sebagai sistem politik yang relatif lebih baik dari sistem-sistem lainnya. Sebagaimana dikemukakan oleh S.I. Benn dan R.S. Peters dalam Principles of Political Thought (1964), pasca Perang Dunia II, demokrasi menjadi sistem politik primadona yang dianut oleh sebagian besar negara-negara di dunia. Unesco pun kemudian mempertegas temuan itu dalam hasil penelitiannya pada 1945 dengan mengatakan bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah, demokrasi dinyatakan sebagai sistem yang paling baik dan wajar (rasional) untuk semua bentuk organisasi politik maupun sosial yang diperjuangkan para pendukungnya.

Secara sederhana, demokrasi bisa didefinisikan sebagai sistem politik yang kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas, yang dilakukan oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat melalui pemilihan umum secara berkala, dimana pemilihan umum tersebut harus didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan kebebasan politik (Henry B. Mayo 1960).

Di luar sistem demokrasi, distribusi pemerataan pembangunan, baik politik maupun ekonomi sangatlah mustahil. Dalam sistem di luar demokrasi, khususnya dibidang politik, sangat tidak mungkin anak seorang petani bisa menjadi pemimpin politik tertinggi (presiden/perdana menteri). Diluar sistem demokrasi, sangat tidak mungkin pula ada kebebasan berorganisasi, berpendapat, dan menentukan nasib diri sendiri. Itu sebabnya, demokrasi banyak didukung, diluar kelebihan dan kekurangannya.

Menjaga Konsolidasi Politik

Dalam konteks Indonesia, perjalanan demokrasi belumlah usai. Masa transisi dari kepemimpinan otoriter era Orde Baru ke Era Reformasi saat ini masih banyak mengalami batu sandungan. Konflik masih banyak bermunculan dan pemaksaan kepentingan sekelompok elit politik masih mendominasi. Kondisi ini harus terus dijaga agar arah menuju fase konsolidasi demokrasi bisa cepat dilakukan.

Penjagaan ini sangat penting agar era transisi yang kita lalui tidak berbelok arah. Sebagaimana dikemukakan oleh Guillermo O'Donnell, fase transisi demokrasi ke fase konsolidasi demokrasi kerap memunculkan banyak kemungkinan negatif. Menurutnya, masa transisi bisa saja membentuk sistem otoriter dalam wajah yang baru, atau menyembulkan revolusi sosial yang disebabkan menajamnya konflik–konflik kepentingan di tengah masyarakat, dan atau terjadinya liberalisasi sistem otoriter yang dilakukan oleh penguasa pasca masa transisi. Tentu hal tersebut tidak kita inginkan. Yang kita harapkan adalah era transisi ini bisa dilaui dengan baik dan mengantarkan kita ke sebuah era yang betul-betul demokratis.

Saat ini, era konsolidasi politik sepertinya tinggal selangkah lagi. Meski masih ada kekurangan di sana-sini terkait konsolidasi kelembagaan politik kita, namun arah yang kita tempuh sudah on the track. Itu sebanya, forum demokrasi seperti Bali Democracy Forum ini harus dimanfaatkan secara maksimal. Indonesia sebagai tuan rumah dan pemrakarsa, harus mampu menyerap dan memanffaatkan moment ini untuk terus belajar. Karena dengan banyak belajar, masa depan demokrasi kita sepertinya akan cerah.

No comments: