Oleh : Abdul Hakim MS
Di tengah banyak kesangsian peran Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) dalam mendorong perekonomian global, forum yang menjadi jalinan kerja sama negara-negara di lingkar Pasifik ini mengadakan pertemuan ke-24 di Rusia, 2 – 9 September 2012. Sebanyak 21 pemimpin ekonomi negara anggota –diantaranya adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Seperti tertuang dalam bogor goals, tujuan utama forum APEC adalah terciptanya liberalisasi perdagangan dan investasi di kawasan Asia Pasifik sebelum tahun 2010 untuk anggota Ekonomi Maju, dan sebelum tahun 2020 untuk anggota Ekonomi Berkembang. Dalam upaya mencapai Bogor Goals, APEC melandaskan kerjasama yang dibangun pada tiga pilar, yaitu liberalisasi perdagangan dan investasi, fasilitasi bisnis, serta kerjasama ekonomi dan teknik (Ecotech).
Akan tetapi, karena kerja sama yang dibangun dalam forum APEC hanya atas dasar konsensus yang bersifat tidak mengikat (non-legally binding), menyebabkan perannya dipertanyakan banyak pihak untuk dapat menjawab masalah-masalah ekonomi kekinian. Dengan hanya mengandalkan kesukarelaan negara angotanya dalam melaksanakan kesepakatan yang diambil, kesangsian bahwa APEC bisa menghadirkan solusi bagi krisis ekonomi yang melanda dunia saat ini terus bermunculan.
Apalagi, tema diskusi yang dibicarakan dalam forum APEC, telah banyak diambil alih oleh forum-forum sejenis yang lebih prestisius, forum G20 misalnya. Bahkan negara adidaya Amerika Serikat (AS) pun sepertinya tak lagi concern terhadap forum ini. Hal itu setidaknya dilihat dari ketakhadiran Presiden Barack Obama dalam forum satu tahunan ini. Obama tampaknya lebih mementingkan Konvensi Nasional Partai Demokrat.
Hal lain adalah pemerintah AS kini malah aktif menggalang Zona Perdagangan baru di Asia Pasifik: Trans-Pacific Partnership (TPP). TPP kini beranggotakan AS, Australia, Selandia Baru, Malaysia, Singapore, Brunei, Peru, dan Chile.
Lalu, bagi Indonesia, apa pentingnya APEC? Masih relevankah forum ini bagi Indonesia dalam meningkatkan kerja sama antar negara guna menunjang perdagangan dan meningkatkan investasi dalam negeri?
Poros Baru Ekonomi
Meski negara seperti Amerika Serikat sudah tak begitu concern lagi terhadap APEC, bagi Indonesia, forum ini sejatinya masih sangat strategis. Banyak kalangan menilai, ketaktertarikan AS terhadap APEC lebih disebabkan oleh lunturnya pengaruh negara Paman Sam dikawasan Asia-Pasifik yang disebabkan oleh menguatnya pengaruh dan posisi strategis China. Itu sebanya AS lebih senang mengkampanyekan TPP sebagai bentuk kerja sama ekonomi baru di kawasan ini ketimbang fokus ke APEC.
Di Apec, ada negara-negara seperti Tiongkok, Jepang, India dan Rusia yang hingga sejauh ini tak begitu tertarik untuk bergabung dengan TPP. Demikian halnya dengan Indonesia yang sampai detik ini juga belum berhasrat untuk ikut andil di TPP.
Bagi Indonesia, APEC bernilai strategis lantaran besarnya potensi yang ada. Merujuk data yang dilansir oleh kesekretariatan APEC, negara-negara yang tergabung dalam forum ini merupakan representasi dari 47 persen transaksi perdagangan dunia. Selain itu, jumlah penduduk di 21 negara anggota APEC juga merupakan penyumbang 40 persen dari populasi penduduk dunia. Tentu dengan potensi sebesar itu, Indonesia sangat berkepentingan untuk menjalin kerja sama dengan negara-negara anggota guna terus menjaga baiknya trend ekonomi Indonesia saat ini.
Seperti kita tahu, Trend pembangunan ekonomi Indonesia sedang dalam trend yang sangat positif. Indonesia merupakan satu diantara tiga negara (setelah China dan India) yang tetap mampu menjaga pertumbuhan positif ditengah ancaman krisis global pada 2008. Sejak 2006, pembangunan ekonomi Indonesia tidak pernah lay-off seperti yang terjadi di beberapa negara dunia. Indonesia juga menjadi satu-satunya negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang tergabung dalam kelompok 20 negara dengan status ekonomi maju dan ekonomi baru sedang bangkit (G20).
Tak sampai disitu, baiknya pertumbuhan ekonomi Indonesia menyebabkan sebuah lembaga pemeringkat dunia, Goldman Sachs Asset Management memberi predikat sebagai satu diantara 4 negara yang memiliki prospek sebagai poros baru perkembangan ekonomi dunia. Empat negara itu antara lain Meksiko, Indonesia, South Korea (Korea selatan), dan Turki (MIST). Bahkan Goldman menyebut perkembangan di negara MIST telah berhasil menggeser perkembangan di negara-negara yang tergabung dalam BRICs (Brazil, Russia, India, dan China).
Masuknya Indonesia dalam kategori MIST Goldman Sach disebabkan oleh peencapaian kinerja ekonomi Indonesia yang cukup mempesona. Selama beberapa tahun terakhir, kinerja ekonomi Indonesia bergerak di luar dugaan banyak kalangan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II 2012 bisa menembus angka 6,4 persen atau naik dibandingkan dengan triwulan yang sama pada tahun 2011 yang sebesar 6,3 persen. Dengan melihat bagusnya kinerja ekonomi Indonesia ini, tak heran jika kemudian angka pertumbuhan ekonomi di tahun 2012 diproyeksikan pemerintah akan berada di angka 6.3 – 6.5 persen. Bahkan pemerintah sangat optimis bahwa pada tahun 2013 pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa berada diangka 6.8 persen.
Yang menggembirakan lagi, bagusnya kinerja ekonomi Indonesia di triwulan II 2012 karena ditopang oleh sektor-sektor yang bisa menjadi indikasi perubahan struktur ekonomi Indonesia, yakni dari ekonomi tradisional menuju ekonomi modern, seperti sektor pengangkutan dan komunikasi, perdagangan, hotel, restoran, serta sektor konstruksi.
Cerdas Menjaga Momentum
Meski demikian, data apik kinerja ekonomi ini tak lantas harus membuat pemerintah berpuas diri. Hal itu disebabkan masih ada beberapa kendala yang bisa menjadi penghambat laju pertumbuhan ekonomi, yakni masih lemahnya daya saing Indonesia. Merujuk data International Finance Corporation (IFC), untuk negara-negara yang berada di kawasan Asia-Pasifik misalnya, daya saing Indonesia masih kalah dengan Thailan dan Malaysia. Indonesia hanya menempati peringkat 129, jauh di bawah Thailand dan Malaysia yang menduduki peringkat 17 dan 18.
Persoalan lemahnya daya saing ini antara lain disebabkan oleh sektor infrastruktur yang belum memadai. Kapasitas birokrasi kita juga belum sepenuhnya tereformasi. Dalam kaitan dengan pembangunan infrastruktur yang biayanya “mega”, forum APEC harus bisa digunakan Indonesia untuk meyakinkan berbagai negara agar mau menanamkan investasi di bidang ini.
Jangan sampai terus-terusan membiarkan dana pembangunan infrastruktur bergantung pada APBN. Dalam lima tahun ke depan saja, pemerintah menaksir butuh biaya sedikitnya Rp 1.500 triliun untuk perbaikan infrastruktur di seluruh Indonesia. Jumlah itu bahkan lebih besar dari jumlah APBN tiap tahunnya. Akan tetapi, dengan bermodalkan kemilau kinerja ekonomi yang diraih, Indonesia sesungguhnya bisa dengan kepala tegak meminta kerja sama dengan investor dari negara-negara anggota APEC. Karena disitulah letak strategis APEC bagi Indonesia.
No comments:
Post a Comment