Wednesday, May 18, 2011

Instropeksi Perbaiki Kinerja

Share on :

Surabaya Post
Rabu, 18/05/2011 | 11:53 WIB

Hasil survei lebih baik dinilai sebagai bahan untuk perbaiki kondisi yang ada

JAKARTA-Hasil survei Indo Barometer yang menunjukkan Orde Baru lebih baik dibandingkan dengan Orde Lama dan Orde Reformasi tidaklah penting. Lebih baik bila mencermati hasilnya untuk bekerja bersama memperbaikinya.

Peneliti Indo Barometer Abdul Hakim menegaskan, hasil survei tersebut tidak bisa diartikan adanya keinginan rakyat untuk kembali ke masa lalu. Ia mengatakan, kalau diibaratkan pasangan suami-istri yang sedang berselisih seperti mengucapkan kata cerai atau berpisah namun sesungguhnya masih cinta. “Jadi bukan berarti mau balik lagi ke Orde Baru,” ujar Abdul Hakim, Rabu (18/5).

Menurutnya, apa yang dilakukan Indo Barometer hanya ingin mengangkat persepsi masyarakat terkait dengan pemerintahan. “Karena saat ini kehidupan negara ditentukan berdasarkan persepsi. Dimana SBY menang dari JK, Wiranto, Mega juga berdasarkan persepsi masyarakat,” ujarnya.

Indo Barometer hanya mengambarkan selama 13 tahun reformasi tapi pengganguran, kemiskinan, korupsi masih tinggi. “Saat ini keburukan yudikatif, legislatif dan eksekutif kita lihat dengan mata telanjang,” ujarnya.

Diberitakan sebelumnya, dari hasil survei ditemukan mayoritas publik menyatakan kondisi saat Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto lebih baik dibandingkan dengan era Reformasi. Padahal responden itu antara lain berusia 17 tahun yang tidak mengalami hidup di era Orde Baru ketika Soeharto berjaya atau memulai kekuasaannya.

Abdul Hakim juga membantah kalau, survey yang dilakukannya merupakan pesanan pihak tertentu, terutama dari keluarga Cendana.

Pengamat sosial dan politik Ava Larasati mengatakan, sebaiknya hasil survei tersebut

bukan bahan untuk menunjuk hidung siapa yang salah. “Hasil suvei itu sebenarnya tidak terlalu mengejutkan,” ujar Ava seperti dikutip dari situs inilah.com.

“Keseharian kita dengan gampang menangkap suara-suara yang condong kepada kerinduan akan kondisi di masa Orba. Jangan segera gusar, karena biasanya dengan gampang melihat urusan yang dirindukan itu semata kondisi perekonomian,” ujarnya.

Menurut Ava, rakyat di kalangan bawah, biasanya menisbahkannya pada kondisi dimana sembilan bahan kebutuhan pokok relatif gampang ditemui dengan harga lebih terjangkau.

Kalau mencermati hasil survei Indo, menurut Ava, persepsi ketidakpuasan masyarakat yang paling besar adalah terhadap kinerja pemerintah di bidang ekonomi. “Aspek yang paling mencolok terutama soal pengangguran dan kemiskinan,” ujarnya.

Karena itu, kata Ava, pemerintah sebaiknya menjadikan hasil survei itu sebagai acuan, bahkan tantangan. Satu hal yang pasti, pemerintah saat ini sudah mampu mencapai target pertumbuhan yang mengesankan.

Wajar bila pemerintah bahkan sempat membahas soal pertumbuhan ekonomi tujuh sampai delapan persen, serta target Produk Domestik Bruto mencapai 1 triliun dolar AS dalam 5-10 tahun mendatang.

Persoalannya masih pada sisi pemerataan. Pada soal kemakmuran yang kurang menetes ke bawah. Menetes, karena rakyat pun sadar dan tak memimpikan gelontoran kemakmuran. Pada sisi itulah kelemahan pemerintah saat ini, dan sebenarnya juga kelemahan pemerintahan Orde Baru hingga membulkan rasa ketidakadilan yang berujung pada penggulingan Orba di 1998.

Hal senada juga diungkapkan anggota DPD RI, AM Fatwa.

Fatwa yang pernah disiksa dan dipenjarakan selama 18 tahun selama rezim Orde Baru itu menilai, dalam hal pembangunan fisik dan ekonomi, Soeharto mungkin memiliki catatan baik. Namun dalam kehidupan berdemokrasi dan perlakuan terhadap hak asasi manusia, rezim Orde Baru memiliki cacat.

“Rezim Orde Baru justru menindas prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri. Mereka turut menindas demokrasi dan HAM,” kata Fatwa. ini, tmp

No comments: