Friday, March 11, 2011

Perang Strategi Menuju pemilu 2014

Share on :

Oleh: Abdul Hakim MS

Jurnal Nasional, 10 Maret 2011


Konstelasi dan kontestasi menuju pemilu 2014 telah dimulai. Meski masih tiga tahun lagi, semua stakeholder yang memiliki kepentingan telah memasang kuda-kuda. Ada yang mencoba tes pasar dengan medeklarasikan calon presidennya secara dini. Ada pula yang sibuk mereduksi popularitas tokoh yang sangat berpengaruh.

Upaya tes pasar, telah dicoba oleh beberapa kalangan. Partai Golkar, misalnya, melalui DPD-nya diseluruh Indonesia telah menggaungkan nama Aburizal Bakrie untuk diplot sebagai kandidat presiden. Ada pula riak-riak kecil seperti yang digulirkan oleh tokoh di luar partai, seperti Sri Mulyani. Tokoh ekonomi yang harus ”tersingkir” dari urusan dalam negeri akibat skandal Bank Century ini, telah meluncurkan situs pemikirannya di www.srimulyani.net. Banyak kalangan menduga, peluncuran ini adalah langkah awal penjajakan menuju pemilu 2014. Ada pula tes yang dikeluarkan oleh politisi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, dengan mengatakan Ibu Ani Yudhoyono adalah figur yang pas melanjutkan tampuk kepemimpinan SBY.

Namun yang agak marak untuk saat ini adalah upaya beberapa kalangan mereduksi popularitas tokoh yang sangat berpengaruh, SBY. Kenapa demikian? Meski sudah tak bisa lagi mencalonkan diri menjadi presiden pada 2014, ketokohan SBY masih menjadi kunci kebesaran partai Demokrat. Seperti kita tahu, SBY hingga tahun 2015 masih memegang jabatan sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Keberadaannya di Partai Demokrat, tentu akan membawa pengaruh terhadap pemilih jika dipenghujung kepemimpinannya dinilai positif oleh masyarakat. Dan hingga detik ini, merujuk hasil polling Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dirilis awal Januari 2011 lalu, SBY masih yang terbaik di hati masyarakat. Kepuasan terhadap SBY masih dikisaran 63%. Angka ini tetap lebih tinggi dari keterpilihan SBY pada pemilu 2009 lalu, 60.8%. Implikasinya, tokoh yang didukung SBY akan ikut kena imbas positif.

Arus Kritik

Langkah beberapa kalangan untuk mereduksi popularitas SBY, sebetulnya telah menggelinding sejak akhir 2009 lalu. Melalui pengajuan hak angket skandal Bank Century, opsi menyalahkan pemerintah dalam kasus ini diharapkan akan memangkas ketokohan SBY di benak masyarakat. Melalui perdebatan dramatis yang cukup panjang bak sinetron, hak angket Bank Century melempen di tengah jalan. Kasus ini hanya berhasil ”mengusir” Sri Mulyani dari tanah air. Sementara kasus ini ternyata tak begitu menyerang SBY. Berdasarkan polling Indo Barometer pada awal Januari 2010, publik menilai SBY tak ada kaitannya dengan skandal tersebut. Yang bertanggung jawab adalah Menteri Keuangan saat itu, Sri Mulyani, dan Gubernur BI saat itu, Boediono yang saat ini menjabat sebagai wapres. Selaras dengan itu, kepuasan masyarakat terhadap SBY masih diangka 74.5%.

Setalah lama tak terdengar kritik keras terhadap SBY, tiba-tiba beberapa pekan lalu, sembilan tokoh lintas agama berkumpul di kantor PP Muhammadiyah. Mereka medeklarasikan sebuah maklumat tentang ”kebohongan rezim Presiden SBY”. Tokoh-tokoh agama ini mengidentifikasi setidaknya ada 18 kebohongan yang dilakukan, 9 diantaranya kebohongan lama dan 9 yang lain adalah kebohongan baru. Tindakan ini direspon SBY dengan mengundang mereka ke Istana negara untuk melakukan dialog klarifikasi. Tak puas dengan hasil dialog, tokoh lintas agama ini kemudian mendeklarasikan gerakan anti kebohongan dengan membuka rumah pengaduan masyarakat terhadap kebohongan-kebongan rezim SBY.

Tak berselang lama, SBY kembali dihujani kritik terkait perkara Gayus Tambunan. Arahnya memang tak langsung ke SBY, melainkan ke Satgas Mafia pemberantasan Mafia Hukum. Gayus beberapa saat setelah divonis 7 tahun penjara, memberikan keterangan pers bahwa yang merekayasa kasusnya adalah tiga anggota Satgas Mafia Hukum. ”nyanyian” Gayus ini pun mendapat sambutan langkah politik kalangan DPR dengan pengajuan hak angket. Intinya mempersoalkan keberadaan Satgas dalam kasus-kasus hukum. Satgas sendiri merupakan lembaga bentukan presiden untuk memberantas keberadaan mafia hukum. Namun karena Satgas dibentuk bukan dengan Undang-undang, keberadaannya dipersoalkan banyak kalangan. Kritik terhadap Satgas Mafia Hukum yang digelindingkan oleh DPR melalui hak angket, bisa saja diharapkan beberapa kalangan akan menyasar ke SBY sebagai rahim yang melahirkannya.

Musuh Bersama

Masifnya hujan kritik terhadap SBY seperti diuraikan di atas, secara politis tak bisa dilepaskan dari perjalanan kontestasi menuju 2014. Meski tak bisa kembali mencalonkan diri pada pemilu 2014, SBY saat ini masih menjadi figur terkuat dalam pentas nasional. Keberadaannya di Partai Demokrat, tentu akan membawa dampak signifikan bagi perolehan suara partainya. Disamping itu, ”titahnya” pada sosok yang akan didukung pada pemilu 2014, tentu akan memberikan referensi positif bagi para pengikut SBY untuk menjatuhkan pilihan. Itulah sebabnya, SBY saat ini bisa dikatakan menjadi ”musuh bersama” semua kalangan yang memiliki kepentingan menuju pemilu 3 tahun mendatang.

Setidaknya ada dua faktor yang memunculkan analisa kenapa SBY menjadi ”musuh bersama” sehingga popularitasnya perlu direduksi. Pertama, kalangan-kalangan ini memerlukan situasi balance of pawer untuk bertarung di pemilu 2014. Dengan jeleknya citra SBY di mata publik, maka ”pertempuran” pada pileg dan pilpres menjadi seimbang diantara para kontestan. Seperti kita tahu, semua partai politik saat ini tidak memiliki tokoh sentral sekaliber SBY. Yang ada hanyalah tokoh yang ”telah usang”. Dengan ketidakhadiran pengaruh kuat SBY, maka para kontestan tinggal berpikiran memunculkan tokoh yang bercitra baik dan melakukan start yang bersamaan. Tidak ada pole position berlebihan diantara para kandidat.

Kedua, para kontestan saat ini berharap dapat memenangkan peperangan pada pemilu sebelum pertempuran itu sendiri berlangsung di 2014. seandainya upaya melemahnya popularitas SBY berhasil, hal itu tentu sebuah kemenangan kalangan-kalangan ini untuk bertarung pada pemilu 2014. Partai Demokrat diharapkan akan mengempes. Dan partai-partai yang bertarung tentu bisa ”berbagi” kue limpahan suara SBY. Karena berdasarkan survei Indo Barometer, suara SBY memang banyak dari kalangan floating mass (massa mengambang). Ciri-ciri pemilih pada jenis ini dalam memutuskan pilihannya adalah menunggu situasi politik kontemporer.

Menilik hal tersebut, bisa dipastikan bahwa situasi politik nasional dalam tahun-tahun mendatang akan terus disibukkan oleh ”peperangan strategi” para politisi partai politik. Kita semua akan dijejaki dan disuguhi tontonan-tontonan hal semacam ini tanpa henti. Entah gerakan apalagi yang akan muncul. Meski demikian, diharapkan pemerintah tetap fokus dan tidak melupakan tugas utamanya untuk mengurusi kesejahteraan masyarakat. Jangan sampai pemerintah kemudian lalai akibat banyaknya kritik yang terus menghujani tanpa henti.

No comments: