surabayapost.co.id
Kamis, 10 Maret 2011 | 11:44 WIB
SEMARANG – Pengamat politik Universitas Diponegoro Fitriyah mengatakan, beredarnya isu reshuffle atau perombakan kabinet dalam koalisi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan menjadi pola berulang dan rentan muncul semakin sering mendekati Pemilu 2014.
"Karena koalisi hubungannya transaksional maka permasalahan yang sama kemungkinan akan muncul lagi," kata Fitriyah, Kamis (10/3).
Ia mengatakan setelah semakin pasti keputusan Partai Golkar tetap bertahan dalam koalisi, tidak ada jaminan ke depan koalisi akan solid karena partai memiliki kepentingan sendiri-sendiri.
Masih bertahannya Partai Golkar dalam koalisi, menurut Fitriyah, sesuai dengan perkiraan awal banyak pihak bahwa Presiden masih membutuhkan Partai Golkar.
"Suara 60 persen lebih Partai Demokrat di legislatif tidak cukup melakukan back up sehingga membutuhkan dukungan dari Partai Golkar. Sementara Partai Golkar sadar sebagai kekuatan kedua setelah Partai Demokrat," kata pengajar Ilmu Pemerintahan FISIP Undip itu.
Sementara jika Partai Golkar disingkirkan, lanjut Fitriyah, terlalu riskan.
Menurut Fitriyah koalisi saat ini lebih pada kuantitas, tidak ada kesamaan ideologi dan tidak jelas platform serta tidak ada ciri khas partai politik.
Senada tapi tak seirama juga diungkapkan Pengamat Politik IndoBarometer Abdul Hakim. Ia mengatakan, sebagai seorang negarawan, SBY akan memilih untuk menjaga keharmonisan antara partai koalisi dengan cara mencari titik persamaan daripada perbedaan.
"SBY dikenal memiliki karakter kepemimpinan Jawa yang kuat. Salah satu karakter utama kepemimpinan Jawa adalah mengumpulkan kekuasaan bukan mendeferensiasi kekuasaan," ujar.
Meski mempertahankan, bukan berarti SBY tidak akan memberikan sanksi politik kepada PKS atas perbedaan sikap mengenai hak angket Century dan pajak.
"Reshuffle terhadap menteri PKS mungkin tetap dilakukan, tapi tidak membabi buta bukan karena perbedaan sikap melainkan karena kinerjanya yang memang tidak memuaskan. Artinya obyektif, kalau bagus tetap dipertahankan," ujarnya.
Menurut Abdul Hakim, keberadaan PKS di dalam barisan koalisi dibutuhkan untuk internal check and balances. Hanya saja, sambungnya, ke depan kritik yang disampaikan PKS tak perlu sampai mengusung hak angket di DPR.
Sementara itu, hingga saat ini, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga saat ini masih belum memberi kepastian Partai Gerindra bergabung dengan koalisi. Peluang Gerindra masuk dalam koalisi makin kecil menyusul batalnya Golkar dan PKS didepak dari koalisi.
"Masih belum selesai, masih dalam proses. Nanti juga ada keputusannya," kata anggota Dewan Pembina PD Ahmad Mubarok.
Sementara itu, terkait rencana pertemuan SBY dengan perwakilan PKS, Mubarok juga belum bisa memastikan. Padahal sebelumnya dengan Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie secara pribadi sudah bertemu dan menemukan kata sepakat.
"Sampai saat ini belum, saya tidak tahu kapan jadwalnya. Dulu pas di Bandung PKS datang pas injury time. Mungkin juga dipanggil menit terakhir. Tunggu saja," ungkapnya.
Sejumlah pimpinan partai pendukung pemerintahan SBY justru menanggapi dingin isu reshuffle. Menurut Ketua Umum PPP yang juga Menteri Agama, Suryadharma Ali (SDA), isu tersebut tidak datang dari Presiden SBY selaku kepala pemerintahan, melainkan dari elit-elit tertentu.
"Isu reshuffle dibangun bukan atas dasar sinyal dari SBY. Tapi sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu," ujar SDA usai raker dengan Komisi VIII DPR.
Menurut SDA, isu akan adanya reshuffle bukan kali ini saja berhembus. Sejak 100 hari pemerintahan SBY, lalu dilanjutkan pada setahun periode kedua pemerintahan SBY berjalan kembali berhembus isu yang meresahkan tersebut.
"Dan sekarang berhembus lagi setelah usulan hak angket mafia pajak. Tapi Pak SBY sendiri tidak ada apa-apa dan sampai hari ini tidak ada (reshuffle). Jadi ini sengaja dihembuskan," terangnya. dtc, ant
No comments:
Post a Comment