Oleh : Abdul Hakim MS
Harian Detik, Kamis, 10 Mei 2012
Lama tak terdengar, nama Akbar Tandjung tiba-tiba menyeruak kembali ke pentas politik nasional. Musababnya sederhana, ia tak setuju dengan agenda tunggal Rapimnasus Partai Golkar yang dipercepat pada bulan Juli 2012 mendatang, yakni penetapan Aburizal Bakrie sebagai satu-satunya bakal capres dari partai beringin pada pemilu 2014.
Alih-alih mendukung pencapresan Ical dalam Rapimnasus, Akbar malah memberikan nasehat melalui surat bernomor K-03/DP/Golkar/IV/2012 tertanggal 25 April 2012. Menurut politisi gaek yang saat ini menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar ini, dari pada menetapkan capres secara dini, Rapimnasus sebaiknya diarahkan untuk melakukan evaluasi internal partai guna menghadapi pemilu 2014. Itu dikarenakan pemilu 2014 akan makin sulit dilalui, mengingat banyaknya kader yang menyempal dan mendirikan partai sendiri.
Setidaknya ada lima poin penting dalam surat Akbar. Pertama, ia menyoroti konsolidasi partai yang belum berjalan efektif. Kedua, ia mengungkit kaderisasi yang belum maksimal. Ketiga, mengenai keanggotaan partai yang masih mandek. Keempat, mengingatkan bahwa Golkar menargetkan suara 33 persen pada pemilu 2014. Kelima, yang merupakan inti surat Akbar, adalah menyangkut penetatapan capres. Akbar menyarankan, Rapimnasus lebih ideal jika diarahkan untuk membahas mengenai tata cara penetapan capres dari Partai Golkar, bukan menetapkan Ical sebagi capres tunggal.
Efek Pembelahan
Jika menilik kondisi Partai Golkar di dua pemilu legislatif terakhir, galau Akbar dalam menyikapi pencapresan dini Ical sebetulnya cukup rasional. Tantangan yang akan dihadapi partai kuning pada pemilu 2014 akan semakin terjal. Suara partai bekas penyangga Orde Baru ini terancam kembali melorot akibat banyaknya kader yang menyempal atau mendirikan partai sendiri.
Jika disimulasikan secara sederhana, penyempalan kader Partai Golkar yang kemudian mendirikan partai sendiri sudah berefek cukup ekstrim pada pemilu 2009 lalu. Seperti kita tahu, pada pemilu 2004 Partai Golkar menjadi pemenang pemilu dengan jumlah suara sebesar 24 juta pemilih. Akan tetapi, jumlah suara ini kemudian turun drastis pada pemilu 2009 menjadi hanya 15 juta pemilih. Pertanyaannya, kemana pindahnya 9 juta suara pemilih Golkar pada pemilu 2009?
Jika ditelusuri, pada pemilu 2009, setidaknya ada tiga partai peserta pemilu yang lahir dari rahim Partai Golkar. Ketiganya adalah Partai Gerindra, Partai Hanura, dan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB). Ketiganya berhasil meraup suara cukup signifikan. Partai Gerindra menggenggam 4,6 juta suara pemilih, Partai Hanura menggamit 3,9 juta suara pemilih, dan PKPB merengkuh 1,4 juta suara pemilih. Jika digabungkan, jumlah suara ketiga partai yang berembrio dari Partai Golkar ini mencapai 9 juta suara pemilih. Jumlah ini sesuai dengan jumlah hilangnya suara Partai Golkar pada pemilu 2009 lalu. Dari hitungan sederhana ini bisa ditafsirkan, bahwa ancaman terbesar partai Golkar bukan berasal dari partai lain yang tak memiliki hubungan histroris, melainkan muncul dari partai-partai yang memiliki tautan sejarah dengan Partai Golkar sendiri.
Celakanya, pada pemilu 2014, Partai Golkar yang suaranya sudah tereduksi oleh tiga partai di awal, harus kembali terbelah. Kekalahan Surya Paloh dalam kontestasi pemilihan Ketua Umum Partai Golkar oleh Ical, menyebabkan lahirnya Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Saat ini, menurut kajian Lembaga Survei Indonesia (LSI), Partai Nasdem sudah meraup dukungan publik sekitar 5 persen. Tentu kondisi ini akan semakin menyudutkan posisi Partai Golkar. Karena hemat saya, sebagian besar suara Partai Nasdem sepertinya akan berasal dari pemilih Golkar. Sebabnya, Surya Paloh ketika mendirikan Partai Nasdem membawa serta gerbongnya di Partai Golkar.
Nilai Minus Ical
Disaat ancaman yang akan dihadapi oleh Partai Golkar kian besar pada pemilu 2014, cukup wajar apabila Akbar Tandjung kemudian menjadi galau. Dalam situasi seperti ini, seharunya internal partai lebih fokus mencari strategi untuk bisa memenangi pemilu legislatif terlebih dahulu daripada ribut memperbincangkan pencapresan Ical secara dini.
Akbar sepertinya faham betul dengan situasi ini. Itu sebabnya, ia tak kemudian legowo mendukung Ical untuk menjadi capres, mengingat Ical memiliki catatan minus yang mungkin bisa saja makin menenggelamkan suara Partai Golkar.
Seperti kita tahu, ada dua catatan hitam yang siap menjadi faktor resisten Ical dalam pilpres 2014 mendatang.
Pertama, bencana luapan Lumpur Lapindo. Bencana luapan lumpur yang menimpa Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, itu terjadi akibat kesalahan pengeboran yang dilakukan PT Lapindo Brantas. Bencana ini telah menyebabkan lebih dari ratusan hektare wilayah pemukiman warga tenggelam. Tak hanya itu, puluhan ribu orang terpaksa mengungsi. Sudah tak terhitung lagi nilai kerugian material maupun nonmaterial yang timbul akibat bencana tersebut. Namun, meski sudah lima tahun berlalu, mekanisme penyerahan ganti rugi lahan masih terkatung-katung. Naasnya, kejadian ini berada di Pulau Jawa yang jumlah pemilihnya mencapai 60 persen.
PT Lapindo Brantas sendiri merupakan salah satu perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang ditunjuk oleh BP Migas untuk melakukan proses pengeboran minyak dan gas bumi. Saham PT Lapindo Brantas dimiliki secara penuh atau 100 persen oleh PT Energi Mega Persada. PT Energi Mega Persada sendiri sebagai pemilik saham mayoritas PT Lapindo Brantas merupakan anak perusahaan kelompok usaha Bakrie.
Kedua, kasus skandal tunggakan pajak. Selain bencana luapan lumpur Lapindo, Ical juga berpotensi tersandung skandal tunggakan pajak yang dilakukan kelompok usaha Bakrie, yaitu PT Kaltim Prima Coal, PT Bumi Resources, dan PT Arutmin. Di berbagai kesempatan persidangan, terdakwa Gayus H. Tambunan berulang kali mengungkapkan bahwa kelompok usaha Bakrie memberikan uang senilai Rp100 miliar kepada dirinya guna memperlancar urusan tunggakan pajak.
Merujuk kondisi di atas, tentu yang harus dilakukan Partai Golkar saat ini adalah melakukan konsolidasi total demi menjaga asa menjadi pemenang pada pemilu 2014. Pencapresan dini Ical pada Rapimnasus bulan Juli mendatang, hemat saya, adalah langkah yang kurang arif jika merujuk catatan-catatan minusnya. Akan lebih bijak apabila Ical memenuhi janjinya bahwa Partai Golkar akan mencapreskan sosok yang menurut survei paling diterima publik. Saat ini, Ical masih kalah moncer dengan tokoh-tokoh lain di Golkar, seperti Jusuf Kalla.
Sepertinya, untuk bisa memperbaiki posisi, pintu pencapresan Partai Golkar akan lebih baik jika ditempuh dengan cara konvensi, seperti yang dilakukan Akbar pada pemilu 1999. Cara itu terbukti cukup mujarab dalam mengerek suara beringin menjadi pemenang. Seandainya Ical nanti tetap ditunjuk menjadi capres tunggal secara dini, sepertinya Partai Golkar harus rela menelan pil pahit pada pemilu 2014 nanti.
No comments:
Post a Comment