Oleh: Abdul Hakim MS.
Harian Berita Sore Medan, 11 September 2007
Pertengahan November 2006 lalu, publik nasional digemparkan oleh kunjungan Presiden Amerika Serikat, george W. Bush ke tanah air. Sebenarnya, bukan masalah kunjungan Bush-nya yang mencengangkan, karena sudah menjadi perkara lumrah ketika seorang presiden sebuah negara berkunjung ke Negara lain. Cuma, persiapan yang di lakukan oleh Indonesia dalam rangka menyambut orang nomor satu negeri Paman Sam ini dipandang sangat berlebihan. Implikasinya, situasi politik nasional pun menghangat kala itu.
Kita semua pasti masih ingat, untuk menempatkan pendaratan helikopter tumpangan Bush saja, Indonesia hampir mengorbankan Taman Nasional Kebon Raya Bogor. Dalam waktu sekejap, area tengah kawasan konservasi ini disulap menjadi helipad. Kebijakan ini pun menimbulkan pro-kontra. Untunglah, pembangunan helipad itu hanya untuk mengalihkan perhatian.
Upaya penyambutan yang dipandang berlebihan itu, kemudian memunculkan tudingan bahwa; pertama, pemerintah Indonesia dalam menjalakan politik luar negerinya telah disetir oleh pihak tertentu, Amerika Serikat. Ada kalangan yang menilai, SBY sudah menjadi “antek Amerika” dan turut menjadi kepanjangan tangan dari liberalisme ekonomi. SBY dituduh telah berpihak pada “kutub Barat” dalam pergaulan internasionalnya.
Kedua, kekuatan Indonesia di mata internasioal sudah mulai memudar, khususnya terhadap AS dan kutub barat. Buktinya, kala Bush datang, kita seolah “menunduk dan tertunduk” dengan memberikan service yang over. Sinyal telepon seluler harus di acak, sekolah diliburkan, dan semua akses publik harus diblocking yang sempat “mematikan” geliat ekonomi kota bogor dalam waktu satu hari.
Namun, kritik yang datang ke pemerintah itu, seolah tertepis saat pemerintahan SBY menjalin hubungan yang dinamis dengan Russia. Pada 1 Desember 2006 yang lalu, SBY melakukan kunjungan ke Istana Kremlin. Kunjungan ini pun berbalas pada 6 September 2007. Dalam pertemuan dua negara ini, berbagai agenda telah disiapkan dalam rangka mempererat hubungan persahabatan. Berbagai kerja sama baik dibidang politik, ekonomi dan teknik pertahanan, telah disepakati.
Sebenarnya, hubungan bilateral antar negara bukanlah hal yang asing. Namun apa yang menarik dari hubungan Indonesia-Rusia?
Mempertegas Politik Bebas-Aktif
Hemat saya, hubungan bilateral ini tak hanya sekedar menjadi safari kenegaraan, melainkan mempunyai makna substantif yang ingin dikemukakan ke depan publik. Setidak-tidaknya, ada dua tafsir politik yang bisa dimunculkan. Pertama, SBY ingin memberikan jawaban atas kritik, anggapan dan penilaian yang kurang tepat terhadap pemerintahan yang dipimpinnya. Tudingan pihak-pihak tertentu bahwa politik luar negeri Indonesia lebih condong ke AS dan “blok barat”, menjadi terkesampingkan dengan sendirinya ketika SBY menjalin hubungan akrab dengan negara eks Uni Soviet ini.
Seperti kita tahu, Russia merupakan salah satu negara yang dahulu sangat berseberangan dengan AS, saat masih bernama Uni Soviet. Negara Stalin ini menjadi kekuatan pengimbang di pentas global yang menyebabkan terjadinya perang dingin. Implikasinya, dunia terdikotomi menjadi dua, Blok Barat yang diwakili AS dan negara-negara Eropa, dan Blok Timur yang diwakili oleh Uni Soviet dan sekutunya.
Kedua, SBY ingin menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang merdeka dan berdaulat, dan karena itu bebas untuk bergaul dengan negara manapun, tanpa ada yang dapat menghalanginya. Kerjasama yang dijalin dengan Russia, merupakan bukti bahwa politik luar negeri kita tetap menganut prinsip bebas dan aktif.
Jika kita menengok ke belakang, sebetulnya, sejak awal kebijakan pemerintah terhadap politik luar negeri Indonesia sudah sangat jelas : konsisten dengan prinsip bebas dan aktif. Mari kita periksa pergaulan politik internasional pemerintah, baik dengan semua negara.
Dengan Amerika Serikat, Indonesia mempunyai hubungan yang sangat baik. Begitupun dengan negara-negara yang sering berseberangan dengan negeri Paman Sam. Di Asia misalnya, pemerintah menjalin hubungan baik dengan China dan India. Bahkan dengan Korea Utara sekalipun, Indonesia mempunyai hubungan diplomatik yang cukup dinamis. Di Eropa, Indonesia menjalin hubungan kerjasama dengan Perancis dan Jerman, termasuk Russia yang baru saja berkunjung ke Indonesia.
Di Amerika Latin, pemerintah berhubungan baik dengan Kuba, salah satu kerikil tajam bagi Amerika Serikat. Indonesia juga menunjukkan sikap yang kritis terhadap kebijakan Amerika Serikat terhadap Irak dan Afghanistan. Demikian pula sikap Indonesia tentang Palestina, Libanon, Iran, atau Timur Tengah pada umumnya. Demikian halnya dengan masalah di Semenanjung Korea.
Intinya, jika kita mau menilai secara objektif, memang sikap dan pendirian politik Indonesia dalam dinamika kehidupan internasional adalah cermin dari kemandirian sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. SBY seolah ingin menunjukkan dan menegaskan kembali, bahwa hubungan yang terjalin bukan karena ditekan, dituntun atau diarahkan oleh pihak tertentu. Kebijakan politik luar negeri Indonesia, adalah kelanjutan dari perintah Konstitusi untuk berpartisipasi aktif dalam turut menciptakan perdamaian dunia. Semuanya tetap berlandaskan pada national interest Indonesia.
Hindari Embargo
Yang menjadi catatan penting lainnya, kerjasama Indonesia-Rusia telah mengubah arah kebijakan pertahanan terkait penyediaan alat persenjataan RI. Dalam salah satu klausul kerja sama, Rusia berkomitmen untuk memberikan bantuan kredit ekspor senilai US$ 1 miliar bagi pembelian peralatan pertahanan.
Melaui skema itu, Indonesia berencana membeli 2 unit kapal selam kelas kilo, 20 tank amfibi BMF-3F, 2 paket rudal antarkapal, dan 10 helikopter serbu Mi-35P. Diluar paket itu, Indonesia juga telah setuju menambah armada pesawat tempur dengan enam unit Sukhoi, masing-masing tiga tipe Su-27 dan tiga Su-30 senilai US$ 335 juta.
Tentu hal ini menjadi titik terang bagi pengadaan alat pertahanan Indonesia. Selama ini, pengadaan alat pertahanan dimonopoli oleh negara-negara barat. Dan ketika ada embargo –seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Inggris beberapa tahun terakhir— keberlangsungan alat pertahanan kita menjadi mandul.
Dengan hadirnya Rusia sebagai alternatif menghindar dari monopoli alat persenjataan –selain Brasil, Italia, Jerman dan Cina—tentu bukan persoalan lagi ketika embargo dilakukan oleh negara-negara barat. Dengan banyaknya alternatif yang ada, pengembangan teknologi persenjataan kita tak melulu tergantung lagi pada negara-negara tertentu, melainkan bisa bersandar pada negara-negara lain, yang tentunya menjadi pertanda baik baik pertumbuhan teknologi pertahanan nasional.
Baca Selengkapnya...
Harian Berita Sore Medan, 11 September 2007
Pertengahan November 2006 lalu, publik nasional digemparkan oleh kunjungan Presiden Amerika Serikat, george W. Bush ke tanah air. Sebenarnya, bukan masalah kunjungan Bush-nya yang mencengangkan, karena sudah menjadi perkara lumrah ketika seorang presiden sebuah negara berkunjung ke Negara lain. Cuma, persiapan yang di lakukan oleh Indonesia dalam rangka menyambut orang nomor satu negeri Paman Sam ini dipandang sangat berlebihan. Implikasinya, situasi politik nasional pun menghangat kala itu.
Kita semua pasti masih ingat, untuk menempatkan pendaratan helikopter tumpangan Bush saja, Indonesia hampir mengorbankan Taman Nasional Kebon Raya Bogor. Dalam waktu sekejap, area tengah kawasan konservasi ini disulap menjadi helipad. Kebijakan ini pun menimbulkan pro-kontra. Untunglah, pembangunan helipad itu hanya untuk mengalihkan perhatian.
Upaya penyambutan yang dipandang berlebihan itu, kemudian memunculkan tudingan bahwa; pertama, pemerintah Indonesia dalam menjalakan politik luar negerinya telah disetir oleh pihak tertentu, Amerika Serikat. Ada kalangan yang menilai, SBY sudah menjadi “antek Amerika” dan turut menjadi kepanjangan tangan dari liberalisme ekonomi. SBY dituduh telah berpihak pada “kutub Barat” dalam pergaulan internasionalnya.
Kedua, kekuatan Indonesia di mata internasioal sudah mulai memudar, khususnya terhadap AS dan kutub barat. Buktinya, kala Bush datang, kita seolah “menunduk dan tertunduk” dengan memberikan service yang over. Sinyal telepon seluler harus di acak, sekolah diliburkan, dan semua akses publik harus diblocking yang sempat “mematikan” geliat ekonomi kota bogor dalam waktu satu hari.
Namun, kritik yang datang ke pemerintah itu, seolah tertepis saat pemerintahan SBY menjalin hubungan yang dinamis dengan Russia. Pada 1 Desember 2006 yang lalu, SBY melakukan kunjungan ke Istana Kremlin. Kunjungan ini pun berbalas pada 6 September 2007. Dalam pertemuan dua negara ini, berbagai agenda telah disiapkan dalam rangka mempererat hubungan persahabatan. Berbagai kerja sama baik dibidang politik, ekonomi dan teknik pertahanan, telah disepakati.
Sebenarnya, hubungan bilateral antar negara bukanlah hal yang asing. Namun apa yang menarik dari hubungan Indonesia-Rusia?
Mempertegas Politik Bebas-Aktif
Hemat saya, hubungan bilateral ini tak hanya sekedar menjadi safari kenegaraan, melainkan mempunyai makna substantif yang ingin dikemukakan ke depan publik. Setidak-tidaknya, ada dua tafsir politik yang bisa dimunculkan. Pertama, SBY ingin memberikan jawaban atas kritik, anggapan dan penilaian yang kurang tepat terhadap pemerintahan yang dipimpinnya. Tudingan pihak-pihak tertentu bahwa politik luar negeri Indonesia lebih condong ke AS dan “blok barat”, menjadi terkesampingkan dengan sendirinya ketika SBY menjalin hubungan akrab dengan negara eks Uni Soviet ini.
Seperti kita tahu, Russia merupakan salah satu negara yang dahulu sangat berseberangan dengan AS, saat masih bernama Uni Soviet. Negara Stalin ini menjadi kekuatan pengimbang di pentas global yang menyebabkan terjadinya perang dingin. Implikasinya, dunia terdikotomi menjadi dua, Blok Barat yang diwakili AS dan negara-negara Eropa, dan Blok Timur yang diwakili oleh Uni Soviet dan sekutunya.
Kedua, SBY ingin menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang merdeka dan berdaulat, dan karena itu bebas untuk bergaul dengan negara manapun, tanpa ada yang dapat menghalanginya. Kerjasama yang dijalin dengan Russia, merupakan bukti bahwa politik luar negeri kita tetap menganut prinsip bebas dan aktif.
Jika kita menengok ke belakang, sebetulnya, sejak awal kebijakan pemerintah terhadap politik luar negeri Indonesia sudah sangat jelas : konsisten dengan prinsip bebas dan aktif. Mari kita periksa pergaulan politik internasional pemerintah, baik dengan semua negara.
Dengan Amerika Serikat, Indonesia mempunyai hubungan yang sangat baik. Begitupun dengan negara-negara yang sering berseberangan dengan negeri Paman Sam. Di Asia misalnya, pemerintah menjalin hubungan baik dengan China dan India. Bahkan dengan Korea Utara sekalipun, Indonesia mempunyai hubungan diplomatik yang cukup dinamis. Di Eropa, Indonesia menjalin hubungan kerjasama dengan Perancis dan Jerman, termasuk Russia yang baru saja berkunjung ke Indonesia.
Di Amerika Latin, pemerintah berhubungan baik dengan Kuba, salah satu kerikil tajam bagi Amerika Serikat. Indonesia juga menunjukkan sikap yang kritis terhadap kebijakan Amerika Serikat terhadap Irak dan Afghanistan. Demikian pula sikap Indonesia tentang Palestina, Libanon, Iran, atau Timur Tengah pada umumnya. Demikian halnya dengan masalah di Semenanjung Korea.
Intinya, jika kita mau menilai secara objektif, memang sikap dan pendirian politik Indonesia dalam dinamika kehidupan internasional adalah cermin dari kemandirian sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. SBY seolah ingin menunjukkan dan menegaskan kembali, bahwa hubungan yang terjalin bukan karena ditekan, dituntun atau diarahkan oleh pihak tertentu. Kebijakan politik luar negeri Indonesia, adalah kelanjutan dari perintah Konstitusi untuk berpartisipasi aktif dalam turut menciptakan perdamaian dunia. Semuanya tetap berlandaskan pada national interest Indonesia.
Hindari Embargo
Yang menjadi catatan penting lainnya, kerjasama Indonesia-Rusia telah mengubah arah kebijakan pertahanan terkait penyediaan alat persenjataan RI. Dalam salah satu klausul kerja sama, Rusia berkomitmen untuk memberikan bantuan kredit ekspor senilai US$ 1 miliar bagi pembelian peralatan pertahanan.
Melaui skema itu, Indonesia berencana membeli 2 unit kapal selam kelas kilo, 20 tank amfibi BMF-3F, 2 paket rudal antarkapal, dan 10 helikopter serbu Mi-35P. Diluar paket itu, Indonesia juga telah setuju menambah armada pesawat tempur dengan enam unit Sukhoi, masing-masing tiga tipe Su-27 dan tiga Su-30 senilai US$ 335 juta.
Tentu hal ini menjadi titik terang bagi pengadaan alat pertahanan Indonesia. Selama ini, pengadaan alat pertahanan dimonopoli oleh negara-negara barat. Dan ketika ada embargo –seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Inggris beberapa tahun terakhir— keberlangsungan alat pertahanan kita menjadi mandul.
Dengan hadirnya Rusia sebagai alternatif menghindar dari monopoli alat persenjataan –selain Brasil, Italia, Jerman dan Cina—tentu bukan persoalan lagi ketika embargo dilakukan oleh negara-negara barat. Dengan banyaknya alternatif yang ada, pengembangan teknologi persenjataan kita tak melulu tergantung lagi pada negara-negara tertentu, melainkan bisa bersandar pada negara-negara lain, yang tentunya menjadi pertanda baik baik pertumbuhan teknologi pertahanan nasional.