Oleh : Abdul Hakim MS
Jurnal Nasional, 20 Februari 2012
Kajian tentang media massa dalam ruang demokrasi merupakan telaah para akademisi yang tak pernah ada habisnya. Ini disebabkan karena media massa memiliki peran yang cukup signifikan dalam berlangsungnya proses demokratisasi. Bahkan Edmund Burke menyebut, media massa merupakan pilar keempat demokrasi setelah Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif.
Tak heran jika Burke menyematkan pers sebagai pilar keempat demokrasi. Merujuk peran ideal yang dimainkan, pers memang menjadi tulang punggung demokrasi. Setidaknya ada empat lakon yang dijalani. Pertama jurnalisme sebagai sumber informasi yang mendidik masyarakat. Kedua, jurnalisme menjadi pengawas penguasa (watchdog) dalam menjalankan pemerintahan. Ketiga, jurnalisme sebagai penyambung lidah (mediator) antara publik dan pemerintah. Keempat, jurnalisme sebagai ruang advokasi publik.
Meski demikian, pers juga terkadang memainkan peran ganda. Jurnalisme disamping memiliki peran ideal seperti tertera di atas, ia juga merupakan sebuah industri yang tak lekang dari kungkungan kapitalisme. McNair Brian (1995) mengatakan, “Media bukanlah ranah yang netral dimana berbagai kepentingan dan pemaknaan dari berbagai kelompok akan mendapatkan perlakuan yang sama dan seimbang. Media justru bisa menjadi subyek yang mengkonstruksi realitas berdasarkan penafsiran dan definisinya sendiri untuk disebarkan pada khalayak”. Bagiaman dengan pers Indonesia?
Permainan Monopoli
Perkembangan pers Indonesia saat ini sebetulnya cukup menggembirakan. Kebebasan pers yang pada era Orde Baru menjadi barang mahal, tak lagi dikecap saat reformasi bergulir pada 1998. Namun dalam perkembangannya, gejala kebebasan pers saat ini cukup menghawatirkan.
Yang paling nyata adalah tentang kepemilikan pers. Semua media massa berpengaruh, secara lambat laun berkumpul dalam satu wadah pemilik. Bak permainan monopoli, media massa menyentral pada siapa yang memiliki modal paling kuat. Hal ini bisa kita lihat dari kepemilikan televisi di Indonesia misalnya. Satu pemilik modal bisa menguasai dua hingga empat stasiun televisi sekaligus. Demikian pula dengan media cetak. Satu grup bisa menguasai hingga 10 media cetak. Demikian pula dengan media online.
Sayangnya, kepentingan pemilik modal tak bisa lepas sama sekali terhadap kebebasan para jurnalis dalam menyampaikan berita ke publik. Masih hangat dalam benak kita bagaimana publik dibuat jengah dengan pemberitaan dua televisi nasional menjelang kongres Partai Golkar di Riau 2009 silam. Karena para pemilik modalnya maju menjadi kandidat ketua umum, kedua televisi tersebut memunculkan informasi yang tidak semestinya. Mereka saling serang sesuai dengan kepentingan pemilik modal menuju kongres. Tak heran jika kemudian Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kemudian memanggil keduanya terkait netralitas penyiaran.
Kekentalan peran memasukkan kepentingan pemilik modal dalam informasi pers juga muncul dari analisis isi media yang dilakukan oleh DCSC Indonesia. Dalam analisis yang dilakukan dalam rentang waktu 6 bulan (Januari – Juni 2011) terhadap 7 surat kabar nasional, yakni Kompas, Media Indonesia, Indo Pos, Republika, Rakyat Merdeka, Suara Pembaruan dan Seputar Indonesia, pemberitaan terbesar Surya Paloh misalnya, bos Media Group, 49.2% ada di Media Indonesia. Seperti diketahui, Media Indonesia adalah surat kabar yang berada di bawah grup Media Group. Dan uniknya, tema terbesar adalah tentang Ormas Nasional Demokrat (Nasdem). Semua tema itu hanya Media Indonesia yang banyak memuat. Seperti kita tahu, Surya Paloh adalah Ketua Ormas Nasdem. Gelagat ini, persis yang diungkapkan oleh McNair Brian di atas.
Kepentingan Politik 2014
Menjelang pemilu 2014, gelagat netralitas pers itu sepertinya tak surut begitu saja. Apalagi, bos media-media besar terutama televisi adalah para politisi yang akan berpartisipasi dalam pemilu 2014. Kita semua tahu bahwa pemilik TV One dan Metro TV misalnya, adalah para politisi yang akan meramaikan proses sirkulasi kekuasaan pada pemilu 2014. TV One dimiliki oleh Aburizal bakrie, sementara Metro TV dimiliki Surya Paloh. Naasnya, dua televisi itu adalah televisi referensi berita publik di Indonesia.
Lebih menghawatirkan, para politisi pemilik pers juga sedang membangun oligarki pers dengan bergabung dalam satu wadah politik yang sama. Masuknya Hary Tanoesoedibjo ke Partai Nasdem misalnya, menjadi titik tolak kehawatiran itu. Jangan-jangan, media yang dimiliki hanya akan dijadikan alat penggiringan opini publik untuk memilih partai tertentu. Hary Tanoesoedibjo saat ini didapuk sebagai ketua Dewan Pakar Partai Nasdem.
Seperti kita tahu, Hary Tanoesoedibjo adalah salah satu penguasa media di Indonesia. Penguasa MNC Group ini memegang kendali terhadap RCTI, Global TV, dan MNC TV. Bergabungnya Hary Tanoesoedibjo telah membawa efek terhadap derasnya iklan partai nasdem di telivis MNC Group ini di saat semua partai belum berpikir untuk beriklan di televisi karena mahalnya biaya.
Memang terlalu dini jika kita berprasangka bahwa nantinya televisi-televisi itu akan melulu menjadikan program-programnya untuk mendukung kepentingan politik pemilik modal. Namun yang menjadi kehawatiran adalah tak netralnya media massa gara-gara pemilik modalnya berkecimpung dalam dunia politik praktis. Karena kasus seperti itu sudah pernah terjadi.
Tidak salah memang apabila para penggiat pers juga menjadi penggiat politik. Namun yang harus diperhatikan, publik punya hak untuk mendapatkan informasi yang baik dan seimbang. Saat ini publik sudah cukup pintar dan jeli menilai sebuah program atau pemberitaan media massa. Karena itu, jika program hanya menyasar kepentingan politik tertentu, publik sudah cukup pandai untuk memberi reward and punishmet.
Selain itu, dibutuhkan kesiapan KPI untuk menelaah program yang tak sejalan dengan kepntingan publik. Selain KPI, semua civil society juga harus bergerak mengawasi geliat media massa. Karena tanpa keseriusan pengawasan terhadap media massa, publik akan sangat dirugikan dengan banyaknya “informasi sampah” yang menjejali ruang kehidupan masyarakat.
Baca Selengkapnya...