JPNN
Senin, 16 April 2012
JAKARTA – Direktur Riset Developing Countries Studies Center (DCSC) Indonesia, Abdul Hakim MS, menilai usul penggunaan hak interpelasi atas kebijakan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan, sebagai langkah politik yang kurang bijak. Menurut Hakim, motivasi di balik interpelasi itu justru perlu dipertanyakan.
“Terkait akan diajukannya hak interpelasi kepada menteri BUMN soal SK Nomor 236, saya pikir agak kurang bijak,” kata Hakim di Jakarta, Senin (16/4).
Diakuinya, interpelasi merupakan hak DPR yang dijamin konstitusi. Namun untuk kasus usul interpelasi ke Dahlan, lanjut Hakim, masih ada jalan yang lebih baik untuk ditempuh.
“Masih ada forum rapat dengar pendapat. Bisa digunakan sebagai forum untuk tanya ke Dahlan, apa yang melatarbelakangi SK itu," cetusnya.
Ditambahkannya pula, jika secara substantif ternyata SK yang dipersoalkan DPR itu justru demi perbaikan kinerja BUMN maka lebih baik langkah itu didukung. “Jangan karena masalah prosedur, substansi menjadi tidak penting,” katanya.
Di lain pihak, kata Hakim, ada baiknya juga Dahlan mempelajari prosedur di birokrasi pemerintahan. “Jangan juga karena niat baik tapi karena ditempuh dengan cara yang tidak tepat, jadinya malah tidak baik,” katanya.
DPR, lanjutnya, sudah semestinya instropeksi. "Apakah perlu interpelasi itu? Tidakkah cukup dengan rapat dengar pendapat saja?" cetusnya.
Seperti diketahui, Keputusan Menteri BUMN Nomor 236/MBU/2011 dianggap menyalahi beberapa aturan karena dianggap bisa memberikan wewenang direksi BUMN untuk melakukan penjualan aset tanpa mekanisme yang benar. Hak interpelasi diajukan karena SK Menteri BUMN Nomor 236/MBU/2011 dinilai melanggar sejumlah undang-undang. Yakni UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 19/2003 tentang BUMN, UU Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU Nomor 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, dan UU Nomor 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. (boy/jpnn)
Baca Selengkapnya...