Oleh : Abdul Hakim MS
“Time has come where Indonesia can give something to the world, because we are now regional power with global outreach”. Demikian kalimat yang terlontar dari Presiden SBY kala memberikan briefing di pesawat saat akan menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT G20) di Los Cabos, Meksiko pada 17 – 19 Juni 2012. Presiden SBY begitu yakin bahwa Indonesia akan bisa berbuat “sesuatu” dalam pertemuan tahunan yang diikuti oleh kepala negara dan delegasi dari 20 negara maju maupun berkembang itu.
Optimisme Presiden SBY didasari oleh fakta bahwa Indonesia merupakan salah satu diantara tiga negara (setelah China dan India) yang tetap mampu menjaga pertumbuhan positif di tengah situasi krisis global yang menghantam pada rentang 2008-2009. Dengan pembangunan ekonomi yang tidak pernah lay-off seperti yang terjadi di beberapa negara dunia, Indonesia dipandang sangat remarkable.
Bahkan kepala Indonesia bisa kian tegak mengingat kita merupakan satu-satunya negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang tergabung dalam G20. Selain itu, penilaian positif Goldman Sachs bahwa Indonesia saat ini layak masuk sebagai negara dalam kelompok negara berkembang dan berpengaruh di percaturan ekonomi global (Brazil, Rusia, India, China/BRIC baru), semakin membuat Presiden SBY pede.
Ditambah dengan status sebagai negara dengan volume ekonomi nomor 16 dunia, keberadaan Indonesia di G20 tentu akan lebih diperhitungkan. Pemikiran dan posisi tawar Indonesia menjadi lebih kuat ketimbang dulu ketika hanya menjadi 'penggembira' di forum G8. Pertanyaannya, mampukah Indonesia memanfaatkan posisi strategis ini di forum G20?
Daya Saing
Meski banyak catatan positif telah ditorehkan selama ini, Indonesia tetap harus waspada dan tak boleh terlalu terlena dengan buaian data-data di atas. Itu dikarenakan masih banyaknya kerikil-kerikil tajam yang siap menghadang laju positif pembangunan ekonomi kita. Yang paling kentara tentulah persoalan rendahnya daya saing yang dimiliki Indonesia dibandingkan dengan negara-negara berkembang satu kawasan.
Hal itu terlihat dari laporan International Finance Corporation (IFC). Menurut lembaga yang bermarkas di Amerika Serikat ini, untuk negara-negara yang berada di kawasan Asia Pasifik, daya saing Indonesia masih kalah dengan Thailan dan Malaysia. Indonesia hanya menempati posisi 129, jauh di bawah Thailand dan Malaysia yang menduduki peringkat 17 dan 18. Dari data ini bisa dibaca bahwa Nusantara ternyata belum begitu ramah bagi para pengusaha yang menanamkan modalnya disini.
Seperti kita tahu, persoalan daya saing ini sangat terkait erat dengan keberadaan birokrasi dalam mengelola negara. Hingga detik ini, citra birokrasi Indonesia di mata dunia masih kurang baik. Maraknya pungutan liar (pungli) menyebabkan biaya tak resmi menjadi mahal. Bahkan untuk mendirikan usaha di Indonesia, para pengusaha harus mengeluarkan biaya empat kali lipat dibandingkan dengan mendirikan usaha di Thailand.
Selain birokrasi, persoalan lain yang menjadikan daya saing Indonesia masih kalah dengan negara tetangga adalah masih lemahnya sektor infrastruktur yang ada. Tak jarang para pengusaha harus memutar otak akibat mahalnya biaya transportasi. Hal ini yang menyebabkan ketimpangan harga antara satu daerah dengan daerah lainnya. Harga barang di Papua misalnya, bisa jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga barang yang ada di pulau Jawa.
Untuk itu, ke depan pemerintah harus serius menangani kendala ini. Memang, gaung reformasi birokrasi sudah sangat lantang disuarakan. Namun hingga detik ini belum sepenuhnya membuahkan hasil. Demikian pula dengan pembangunan infrastruktur. Meski pemerintah sudah getol melakukan pembenahan, perbaikan disektor ini juga belum maksimal.
Kita faham bahwa membangun infrastruktur bukan perkara mudah. Dalam lima tahun ke depan saja, misalnya, pemerintah menaksir butuh baiaya sedikitnya Rp 1.500 triliun untuk peningkatan infrastruktur di seluruh Indonesia. Jumlah itu memang tak sedikit karena itu lebih besar dari jumlah APBN Indonesia tiap tahunnya.
Momentum G20
Dengan berbagai catatan positif yang ada, tentu kita berharap pemerintah bisa memanfaatkan dengan maksimal forum G20. Masih terbengkalainya pembenahan sektor infrastruktur akibat besarnya biaya yang diperlukan, bisa ditutup dengan meyakinkan para investor untuk mau mendanai proyek-proyek yang ada. Forum G20 bisa dimanfaatkan untuk menggalang dukungan bagi pembangunan Indonesia, terutama untuk perbaikan sarana infrastruktur. Forum G20 merupakan momentum untuk menarik modal besar ke negeri ini.
Bersamaan dengan itu, pemerintah harus juga serius meyakinkan pengusaha negara lain bahwa Indonesia saat ini sudah lebih ramah dengan dunia usaha. Reformasi birokrasi terus dilakukan sebagai upaya perbaikan. Dan saat ini, meski belum sepenuhnya menggembirakan, reformasi birokrasi sudah memperlihatkan gejala perubahan yang lebih baik.
Saat ini, Indonesia menentukan empat sasaran dalam forum G-20. Pertama, Indonesia harus mampu meminimalkan dampak buruk gejolak ekonomi dunia. Kedua, Indonesia mampu menjaga pertumbuhan ekonomi. Ketiga, Indonesia bertekad untuk mengubah krisis menjadi peluang sukses di bidang ekonomi. Dan Keempat, Indonesia harus mampu mengambil manfaat, yakni menjalin kemitraan dengan sesama anggota G-20.
Tujuan keempat adalah yang terpenting. Saat ini, sulit bagi suatu negara untuk berjalan sendirian. Tak bisa dipungkiri, dunia yang makin menyisakan batas yang minim memaksa setiap negara untuk mau terbuka, memanfaatkan setiap peluang yang ada, dan selalu inovatif dalam mewujudkan kepentingan nasionalnya.
Dengan potensi yang dimiliki Indonesia saat ini yang meliputi kekayaan sumber daya alam, sumber daya manusia, plus trend positif pembangunan ekonomi, Indonesia memiliki peluang besar untuk secara lebih aktif mengutarakan pandangan-pandangan alternatif di luar dominasi negara-negara besar. Indoenesia bisa menelusrkan Isu-isu yang baru di luar kemajuan negara-negar maju.
Oleh karena itu, partisipasi aktif Indonesia pada setiap pertemuan G20 harus bisa melahirkan peluang yang besar bagi peningkatan kapasitas ekonomi domestik. Forum G20 harus bisa dijadikan amunisi untuk mengarahkan sumber daya global bagai kepentingan ekonomi dalam negeri secara lebih optimal.
Baca Selengkapnya...