Ada hal menarik apabila kita menengok pelaksanaan Rapat Paripurna DPR dengan agenda penyampaian jawaban pemerintah atas hak interpelasi masalah busung lapar dan polio selasa (7/3) kemarin. Atraksi para politisi parlemen begitu kental menghiasi jalannya persidangan. Sesaat setelah dibuka, hujan interupsi dilontarkan para anggota dewan kepada pimpinan sidang. Mereka mempertanyakan, kenapa presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak hadir dalam rapat tersebut. Padahal, Menko Kesra Aburizal Bakrie, Menkes Siti Fadila Supari dan Mensesneg Yusril Ihza Mahendra sudah datang untuk mewakili presiden memenuhi undangan DPR untuk memberikan keterangan.
Anggota DPR lagi berantem
Sangat disayangkan, kesempatan interpelasi yang jarang diperoleh ini disia-siakan oleh “bapak-bapak” di parlemen. Seharusnya, kesempatan ini menjadi “ajang” menunjukkan integritas lembaga yang sangat “terhormat” ini, bahwa mereka peduli kepada masyarakat. Namun kenapa setelah keterangan selesai di perdengarkan, tidak ada pertanyaan yang bersifat substansial tentang masalah yang mengiris hati nurani rakyat Indonesia ini? Kenapa harus memaksa presiden yang datang, padahal delegasi dari istana sudah hadir? Ada apa dibalik hak interpelasi ini?
Pertanyaan-pertanyaan ini patut untuk dikeluarkan. Mengingat, masalah busung lapar dan polio merupakan kasus “biadab” yang muncul dalam kondisi negara seperti sekarang. Masih ada saudara-saudara kita yang kelaparan dan kekurangan gizi ditengah pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat. Sebuah ironi yang menyedihkan!
Kepentingan Politik Sesaat
Melihat kondisi ini, setidaknya ada dua hal yang bisa kita simpulkan. Pertama, hak interpelasi yang sudah digalang oleh fraksi-fraksi di DPR sejak awal tahun lalu ini, merupakan komoditas politik sesaat. Ada keinginan untuk melakukan “black campaign” terhadap pemerintahan sekarang dengan menggunakan isu polio dan busung lapar sebagai instrumen.
Analisa sederhana ini muncul, didasarkan pada kenyataan tidak antusiasnya para wakil rakyat ketika mengetahui presiden tidak bisa hadir untuk memberikan keterangan. Padahal, seandainya para “koboi” parlemen ini jeli, dengan mengusut tuntas masalah buruk gizi dan polio kepada delegasi yang hadir, toh imbasnya juga pasti akan ke presiden.
Namun sayang, setelah Menko Kesra Aburizal Bakrie selesai memberikan keterangan, tidak ada pertanyaan sama sekali dari fraksi-fraksi yang sudah menggalang bergulirnya hak interpelasi ini selama hampir 3 bulan. Sebuah perjuangan yang sia-sia! para “wakil” kita terjebak pada hal-hal teknis, bukan substansi.
Kedua, dengan tidak dibahasnya masalah substansi persoalan yang menjadi agenda, yakni busung lapar dan polio, semakin memperparah citra lembaga yang dikatakan oleh Gus Dur sebagai “taman kanak-kanak” ini. Setelah sekian panjang daftar “borok parlemen” yang sudah terungkap ke publik, kini ditambah satu lagi dengan “borok” gagalnya hak interpelasi. Anggota parlemen lebih asik bertanya kenapa presiden tidak datang daripada kenapa masalah busung lapar dan polio masih terjadi ditengah kondisi perekonomian yang terus membaik.
Dewan Perwakilan Partai
Sekali lagi, hati masyarakat terluka. Dewan Perwakilan Rakyat yang diharpakan bisa memperjuangkan kepentingan masyarakat, jauh panggang dari api. Anggota DPR, malah menjadikan penderitaan masyarakat sebagai komoditi politik untuk memperoleh keuntungan sesaat. Gagalnya hak interpelasi, dengan tidak menyentuh masalah substansi sama sekali, lagi-lagi menjadi bukti bahwa DPR bukan merupakan Dewan Perwakilan Rakyat. Melainkan, Dewan Perwakilan Partai.
Parlemen yang seharusnya bisa menjadi kekuatan penyeimbang pemerintah (check and balance) guna memperjuangkan kepentingan masyarakat, malah terjebak oleh kepentingannya sendiri. Kekuatan oposisi yang ada diparlemen selama ini, hanya bertujuan untuk “menjatuhkan”, bukan mencari jalan keluar!
Sebenarnya, kampanye yang dilakukan oleh para “wakil partai” ini sudah tepat. Yakni, melakukan koreksi terhadap kinerja pemerintah tentang masalah sosial kemasyarakatan yang menimpa negeri ini. Hanya, sekali lagi, cara yang mereka tempuh kurang elegan. Seandainya mereka bisa “mempercantik kampanye terselubung” ini, maka hati masayarakat, ke depan, akan jatuh kepangkuan partai-partai yang ada.
Namun lagi-lagi, “permainan kasar” ditunjukkan oleh DPR kita. Kepentingan untuk mencari popularitas, ditempuh dengan cara-cara yang salah. Yang mereka pikirkan bukan bagaimana cara memberantas busung lapar dan polio di negeri ini. Melainkan, hanya ingin menunjukkan bahwa partai mereka, seolah-olah, peduli kepada masyarakat. Padahal, mereka hanya “mencari muka” dan “menjilat” simpati rakyat.
Memang, eksistensi partai politik tetap diperlukan. Tetapi, kita semua tidak perlu atau tidak boleh terlalu menggantungkan harapan. Karena fungsi partai saat ini yang mereka jalankan, masih pada batas bagaimana cara memperoleh dan mempertahankan kekuasaan politik semata.
Karena itu, dalam menghadapi kehidupan sehari-hari yang makin sulit saat ini, rakyat sudah tidak bisa terlalu banyak berharap kepada DPR. Rakyat harus memperjuangkan kepentingannya sendiri. Oleh karena itu, jika DPR ingin memperbaiki citranya, maka sudah waktunya mereka “bermain” secara elegan untuk mengambil hati masyarakat. Agar, pada pemilu berikutnya, kepercayaan masyarakat kepada mereka menjadi lebih baik. Dan stempel DPR sebagai Dewan perwakilan Partai bisa diperbaiki menjadi Dewan Perwakilan Rakyat yang sebenarnya. Aab
Baca Selengkapnya...