Suara Karya
Jumat, 27 Agustus 2010
JAKARTA (Suara Karya): Menteri-menteri di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II telah "meniru" jejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berusaha menutupi kelemahan kinerja pemerintahnya dengan mencari simpati rakyat dan berkeluh kesah menimpakan kesalahan kepada pihak lain.
Jika situasi ini terus dibiarkan, Presiden SBY dan menteri-menteri akan saling lempar tanggung jawab dan kesalahan serta lebih mengandalkan pencitraan ketimbang memperbaiki kinerja.
Pendapat ini disampaikan pengamat Universitas Indonesia Iberamsjah, peneliti Indobarometer Abdul Hakim, dan pengamat LIPI Siti Zuhro secara terpisah di Jakarta, Kamis (26/8).
Iberamsjah mengatakan, sejak awal SBY terpilih untuk memimpin bangsa ini memang dirinya selalu mengandalkan pencitraan. "SBY dulu populer karena adanya pencitraan yang terus-menerus. Pada periode ke-dua pemerintahannya pun, hal ini dilakukannya juga. Sayangnya, menteri-menterinya juga malah ikut-ikutan membuat proyek pencitraan, bukannya bekerja membantu Presiden SBY," katanya.
Menurutnya, politik pencitraan ini sudah tidak lagi bisa diharapkan masyarat, karena kondisi riil masyarakat yang saat ini sudah sangat terjepit dengan berbagai masalah seperti melambungnya harga-harga kebutuhan pokok.
"Rakyat tidak bisa dihibur dengan berbagai proyek pencitraan SBY dan para menterinya. Rakyat ingin tindakan konkret dari pemerintah untuk memecahkan berbagai masalah," katanya menambahkan.
Iberamsjah mengatakan, publik sudah mengetahui SBY kurang bersikap tegas dalam kepemimpinannya. "SBY itu pintar, tapi tidak punya keberanian sehingga tidak ada action yang berarti bagi rakyat," katanya.
Ketidakberaniannya sebagai pemimpin nasional ini pun pada gilirannya menular kepada para menterinya. "Kalau presiden saja tidak berani membuat keputusan, apalagi menteri-menterinya. Akibatnya, presiden dan menteri saling menunggu. Presiden mengeluh menterinya lamban, sementara menterinya juga melempar kesalahan kepada bawahannya di kementerian," ujarnya.
Abdul Hakim menilai, kebiasaan Presiden SBY yang kerap mengeluh kepada publik juga membawa dampak yang buruk bagi para menteri pembantunya sehingga kinerja menteri menjadi tidak optimal.
"SBY sebagai Presiden telah memberikan teladan negatif kepada para pembantunya di kabinet. Kebiasaannya mengeluh kini dicontoh menterinya, misalnya Menkum dan HAM Patrialis Akbar sudah ikut-ikutan mengeluh digebuki dan dizalimi, Mendagri juga begitu dalam kasus senjata Satpol PP. Nanti, menteri lain juga akan bersikap serupa," ujarnya.
Menurut Abdul Hakim, apa yang disampaikan Patrialis Akbar sangatlah mirip dengan pernyataan Presiden SBY soal adanya ancaman dan serangan terhadap dirinya."
Ibarat pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Apa yang disampaikan Patrialis substansinya mirip seperti keluhan-keluhan SBY," ujar Abdul Hakim.
Siti Zuhro berpendapat, Presiden sebaiknya segera membenahi kinerja para menterinya ketimbang terus mengeluh. Bila diperlukan, Presiden sebaiknya mengambil langkah reshuffle (perombakan menteri) di kabinet. Namun, ia yakin Presiden terlebih dulu akan melakukan evaluasi terhadap kinerja para menterinya sesuai kontrak politik, yaitu setiap tahun berjalan.
"Reshuffle merupakan langkah akhir dari sebuah perjalanan panjang sebuah koalisi. Reshuffle bisa dilakukan jika Presiden mendapatkan tekanan yang kuat dari luar. Selain itu, reshuffle juga bisa dilakukan jika Presiden menilai sudah tidak ada kesinkronan lagi. Namun, yang jelas sebelum melakukan reshuffle, Presiden SBY mengevaluasi kinerja terhadap para menteri sesuai kontrak politik," katanya.
Apakah bentuk evaluasi itu berupa pemanggilan atau teguran terhadap para menteri dan pimpinan parpol, itu pasti akan dilakukan. "Jika kinerjanya tidak kompak lagi, ya seharusnya di-reshuffle," katanya.
Siti Zuhro menegaskan, evaluasi kabinet berbasis kinerja seharusnya dilakukan terhadap semua kementerian yang ada. "Jadi, semua menteri harus dievaluasi kinerjanya. Siapa pun yang tidak bekerja atau bekerja tetapi tidak ada hasilnya, ya harus dievaluasi. Bahkan kalau perlu, jika itu menteri dari Partai Demokrat sekalipun, juga harus mendapatkan perlakuan yang sama," katanya.
"Jika hasil evaluasi itu memang mengharuskan harus diganti, ya diganti saja. Tidak perlu harus menunggu tahun 2013," katanya menambahkan.
Langkah ini, katanya, diharapkan bisa memacu kinerja para menteri yang ada. Apalagi saat ini belum genap satu tahun untuk dilakukan evaluasi. Kementerian yang selama ini mungkin tidak pernah terdengar gaungnya akan bisa menunjukkan kinerjanya lebih baik lagi dan bisa melayani masyarakat dengan baik. "Perubahan semacam ini sangat diperlukan sehingga timbul kebersamaan dalam kabinet," katanya.
Namun, Siti Zuhro mengingatkan, reshuffle sangat mungkin dilakukan setelah Presiden berpikir secara mendetail, rinci, dan mempertimbangkan berbagai alasan, termasuk alasan itu masuk akal atau tidak. Presiden tidak akan langsung mengeksekusi dan me-reshuffle begitu saja.
"Kalau kita lihat selama ini, keputusan Presiden lebih bersifat me-reform, bukan langsung eksekusi," katanya.
Sementara itu, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Lili Chodidjah Wahid merasakan situasi saat ini hampir sama menjelang Presiden Soeharto dan Presiden KH Abdurrahman turun dari jabatannya.
"Saya merasa situasinya kok sama. Cuma saya tidak tahu apakah nanti (SBY) turun sendiri atau diturunkan oleh masyarakat," ujarnya. (Joko S/Rully)
Baca Selengkapnya...
Jumat, 27 Agustus 2010
JAKARTA (Suara Karya): Menteri-menteri di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II telah "meniru" jejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berusaha menutupi kelemahan kinerja pemerintahnya dengan mencari simpati rakyat dan berkeluh kesah menimpakan kesalahan kepada pihak lain.
Jika situasi ini terus dibiarkan, Presiden SBY dan menteri-menteri akan saling lempar tanggung jawab dan kesalahan serta lebih mengandalkan pencitraan ketimbang memperbaiki kinerja.
Pendapat ini disampaikan pengamat Universitas Indonesia Iberamsjah, peneliti Indobarometer Abdul Hakim, dan pengamat LIPI Siti Zuhro secara terpisah di Jakarta, Kamis (26/8).
Iberamsjah mengatakan, sejak awal SBY terpilih untuk memimpin bangsa ini memang dirinya selalu mengandalkan pencitraan. "SBY dulu populer karena adanya pencitraan yang terus-menerus. Pada periode ke-dua pemerintahannya pun, hal ini dilakukannya juga. Sayangnya, menteri-menterinya juga malah ikut-ikutan membuat proyek pencitraan, bukannya bekerja membantu Presiden SBY," katanya.
Menurutnya, politik pencitraan ini sudah tidak lagi bisa diharapkan masyarat, karena kondisi riil masyarakat yang saat ini sudah sangat terjepit dengan berbagai masalah seperti melambungnya harga-harga kebutuhan pokok.
"Rakyat tidak bisa dihibur dengan berbagai proyek pencitraan SBY dan para menterinya. Rakyat ingin tindakan konkret dari pemerintah untuk memecahkan berbagai masalah," katanya menambahkan.
Iberamsjah mengatakan, publik sudah mengetahui SBY kurang bersikap tegas dalam kepemimpinannya. "SBY itu pintar, tapi tidak punya keberanian sehingga tidak ada action yang berarti bagi rakyat," katanya.
Ketidakberaniannya sebagai pemimpin nasional ini pun pada gilirannya menular kepada para menterinya. "Kalau presiden saja tidak berani membuat keputusan, apalagi menteri-menterinya. Akibatnya, presiden dan menteri saling menunggu. Presiden mengeluh menterinya lamban, sementara menterinya juga melempar kesalahan kepada bawahannya di kementerian," ujarnya.
Abdul Hakim menilai, kebiasaan Presiden SBY yang kerap mengeluh kepada publik juga membawa dampak yang buruk bagi para menteri pembantunya sehingga kinerja menteri menjadi tidak optimal.
"SBY sebagai Presiden telah memberikan teladan negatif kepada para pembantunya di kabinet. Kebiasaannya mengeluh kini dicontoh menterinya, misalnya Menkum dan HAM Patrialis Akbar sudah ikut-ikutan mengeluh digebuki dan dizalimi, Mendagri juga begitu dalam kasus senjata Satpol PP. Nanti, menteri lain juga akan bersikap serupa," ujarnya.
Menurut Abdul Hakim, apa yang disampaikan Patrialis Akbar sangatlah mirip dengan pernyataan Presiden SBY soal adanya ancaman dan serangan terhadap dirinya."
Ibarat pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Apa yang disampaikan Patrialis substansinya mirip seperti keluhan-keluhan SBY," ujar Abdul Hakim.
Siti Zuhro berpendapat, Presiden sebaiknya segera membenahi kinerja para menterinya ketimbang terus mengeluh. Bila diperlukan, Presiden sebaiknya mengambil langkah reshuffle (perombakan menteri) di kabinet. Namun, ia yakin Presiden terlebih dulu akan melakukan evaluasi terhadap kinerja para menterinya sesuai kontrak politik, yaitu setiap tahun berjalan.
"Reshuffle merupakan langkah akhir dari sebuah perjalanan panjang sebuah koalisi. Reshuffle bisa dilakukan jika Presiden mendapatkan tekanan yang kuat dari luar. Selain itu, reshuffle juga bisa dilakukan jika Presiden menilai sudah tidak ada kesinkronan lagi. Namun, yang jelas sebelum melakukan reshuffle, Presiden SBY mengevaluasi kinerja terhadap para menteri sesuai kontrak politik," katanya.
Apakah bentuk evaluasi itu berupa pemanggilan atau teguran terhadap para menteri dan pimpinan parpol, itu pasti akan dilakukan. "Jika kinerjanya tidak kompak lagi, ya seharusnya di-reshuffle," katanya.
Siti Zuhro menegaskan, evaluasi kabinet berbasis kinerja seharusnya dilakukan terhadap semua kementerian yang ada. "Jadi, semua menteri harus dievaluasi kinerjanya. Siapa pun yang tidak bekerja atau bekerja tetapi tidak ada hasilnya, ya harus dievaluasi. Bahkan kalau perlu, jika itu menteri dari Partai Demokrat sekalipun, juga harus mendapatkan perlakuan yang sama," katanya.
"Jika hasil evaluasi itu memang mengharuskan harus diganti, ya diganti saja. Tidak perlu harus menunggu tahun 2013," katanya menambahkan.
Langkah ini, katanya, diharapkan bisa memacu kinerja para menteri yang ada. Apalagi saat ini belum genap satu tahun untuk dilakukan evaluasi. Kementerian yang selama ini mungkin tidak pernah terdengar gaungnya akan bisa menunjukkan kinerjanya lebih baik lagi dan bisa melayani masyarakat dengan baik. "Perubahan semacam ini sangat diperlukan sehingga timbul kebersamaan dalam kabinet," katanya.
Namun, Siti Zuhro mengingatkan, reshuffle sangat mungkin dilakukan setelah Presiden berpikir secara mendetail, rinci, dan mempertimbangkan berbagai alasan, termasuk alasan itu masuk akal atau tidak. Presiden tidak akan langsung mengeksekusi dan me-reshuffle begitu saja.
"Kalau kita lihat selama ini, keputusan Presiden lebih bersifat me-reform, bukan langsung eksekusi," katanya.
Sementara itu, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Lili Chodidjah Wahid merasakan situasi saat ini hampir sama menjelang Presiden Soeharto dan Presiden KH Abdurrahman turun dari jabatannya.
"Saya merasa situasinya kok sama. Cuma saya tidak tahu apakah nanti (SBY) turun sendiri atau diturunkan oleh masyarakat," ujarnya. (Joko S/Rully)