Oleh : Abdul Hakim MS
Jurnal Nasional, 31 Maret 2012
POLEMIK terkait rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi April besok terus saja menggelinding. Sejauh ini, riak-riak kecil dari kelompok yang menetang rencana tersebut bersemburan. Ada yang mewujudkannya dengan aksi demonstrasi, beropini di media massa, hingga pemasangan spanduk masif di beberapa jalanan Ibu Kota.
Sejatinya, kenaikan harga BBM memang tak terelakkan. Ketegangan antara Iran dan Amerika Serikat di Selat Hormuz telah menjadi pemicu utama meroketnya harga minyak dunia. Akibat pertikaian kedua negara tersebut, harga minyak global sampai menembus US$120 per barel. Bahkan, salah satu pejabat senior perminyakan Kuwait, Ali al-Hajeri, menyatakan, jika ketegangan Iran-AS tak berhenti dalam waktu dekat, harga minyak diprediksi bakal meroket hingga US$160 per barel.
Seiring dengan lompatan harga minyak dunia tersebut, pemerintah kelimpungan mengencangkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2012. Itu dikarenakan, asumsi Indonesia Crude Price (ICP) dalam APBN tahun 2012 hanya sebesar US$90 per barel. Untuk mempersempit gap yang ada, pilihan rasional satu-satunya adalah dengan menaikkan harga BBM.
Adanya gap yang curam antara ICP dan harga minyak dunia sebenarnya sudah terjadi setahun lalu. Akibatnya, pemerintah harus menyediakan dana subsidi BBM sebesar Rp165,2 triliun pada APBN tahun 2011. Padahal, alokasi dana untuk subsidi BBM pada tahun tersebut hanya sebesar Rp129,7 triliun. Sementara pada APBN tahun 2012, pemerintah berencana hanya akan memberikan anggaran dana untuk subsidi BBM sebesar Rp123,6 triliun. Namun, lagi-lagi, karena harga minyak dunia tak kunjung mengempis, pemerintah diperkirakan akan mengeluarkan dana hingga Rp178,7 triliun.
Celakanya, subsidi yang sangat besar itu ternyata tak sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat miskin. Merujuk data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), ternyata hampir 50 persen orang kaya di indonesia yang sebenarnya menikmati 90 persen subsidi BBM. Sedangkan orang miskin yang mengenyamnya hanya sekitar empat persen.
Ambivalensi Oposisi
Merujuk kondisi di atas, tidak mengherankan apabila kemudian Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan yang menggariskan diri sebagai partai oposisi, mendorong pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Saran ini ia kemukakan Januari 2012 yang lalu kala harga minyak dunia belum menyentuh level US$120 per barel. Menurut putri Bung Karno ini, konflik AS-Iran yang tak kunjung mereda di Selat Hormuz akan terus menjadikan ketidakpastian harga minyak global. (tempo.co, Selasa, 12 Januari 2012)
Pengalaman sebagai presiden yang juga pernah dengan terpaksa menaikkan harga BBM karena lilitan masalah APBN, menyebabkan Megawati memahami betul apa yang sedang dihadapi oleh Presiden SBY. Dorongan agar pemerintah menaikkan harga BBM adalah solusi realistis untuk keluar dari jeratan devisit anggaran.
Aneh, apa yang diinginkan Megawati tiga bulan lalu itu berubah ketika pemerintah betul-betul akan menaikkan harga BBM. PDI Perjuangan malah menolak keras dengan berbagai cara, mulai dari pernyataan keras di media massa hingga pemajangan spanduk di jalanan. PDI Perjuangan seolah ingin menegaskan bahwa partainya adalah pendukung wong cilik.
Yang lebih menarik lagi, upaya penolakan tersebut tidak cukup hanya dengan jalur resmi, yakni melalui DPR yang memiliki akses langsung untuk membahas rencana kenaikan ini dengan pemerintah. Partai "banteng moncong putih" ini juga berupaya menggunakan "parlemen jalanan" dengan cara memprovokasi masyarakat melalui pemasangan spanduk bertuliskan penentangan terhadap kenaikan harga BBM.
Memang, kenaikan harga BBM ini merupakan isu seksi yang bisa menuai simpati publik. Akan tetapi, hal itu seyogianya tak kemudian membuat sikap berubah-ubah. Kala PDI Perjuangan telah menentukan sikap mendukung kenaikan, jangan kemudian berubah hanya karena ingin menuai simpati rakyat.
Politisasi BBM
Ambivalensi PDI Perjuangan dalam menyikapi kenaikan harga BBM ini tentu menimbulkan tanda tanya besar: apakah PDI Perjuangan hanya menjadikannya sebagai ajang untuk politik pencitraan? Apakah PDI Perjuangan yang menggariskan diri sebagai opisisi menggunakan isu kenaikan harga BBM agar bisa berbeda dengan pemerintah? Ataukah sikap mendua ini untuk kepentingan penegasan kembali bahwa mereka adalah partainya wong cilik?
Jika pertanyaan-pertanyaan itu benar, maka sikap penolakan yang dilakukan PDI Perjuangan tak lebih hanya sebagai wujud politisasi. Sikap ambivalensi bisa ditafsirkan bahwa elite PDI Perjuangan hanya menjadikan isu-isu kesulitan hidup rakyat sehari-hari untuk memenuhi hasrat politik jangka pendek mereka.
Dalam situasi seperti ini, tentu publik dituntut lebih cermat dalam memilah-milah mana elite politik yang benar-benar berjuang untuk rakyat dan mana elite politik yang berjuang untuk kepentingan politik mereka sendiri. Sudah saatnya publik mengetahui bahwa sikap resisten terhadap pemerintah bukanlah ukuran valid guna menilai bahwa elite politik bersangkutan berjuang bagi kepentingan masyarakat luas. Apalagi sikap resisten tersebut tak disertai perilaku konsisten, seperti terjadi di PDI Perjuangan.
Idealnya, dalam menyikapi kenaikan harga BBM, hendaklah partai politik bersikap ajek. Jika telah memandang kenaikan harga BBM sebagai sebuah keniscayaan, janganlah kemudian menelan ludah sendiri. Sudah tak zaman lagi politik kita disertai sikap "pagi tempe sore kedelai", karena hanya menguatkan dugaan adanya politisasi semata.
Karena itu, ada baiknya para politisi mulai belajar bersikap elegan. Sudah waktunya partai politik memunculkan diri sebagai wadah yang memiliki karakter. Sikap ambivalens hanya akan menghambat perkembangan demokrasi kita yang sudah mulai mapan.